Seratus Ribu untuk Senyum Ibu
Matanya sembab, ada guratan derita yang mungkin tak kan pernah terungkap dengan kata-kata. Beruntung ia tergolong wanita yang gemar merawat wajah, meski usianya memasuki kepala lima, aura wajahnya tetap berseri, atau mungkin juga sebab air wudhu yang membasahi kulitnya sehari lima kali. Inilah tahun ke-3 ia menjalani status single parent. Tiga tahun lalu, suaminya tercinta dijemput Allah, mendahuluinya dan kami semua. Dialah ibuku, wanita berjiwa baja yang terus bersemangat membesarkan kami, anak-anaknya yang kesemuanya wanita. Bisa dibayangkan beban yang ia rasakan, mulai dari mengurus rumah tangga sendiri, sampai memikirkan biaya hidup dan kuliah kami. Di propinsi tempat kami tinggal, kami sungguh tak punya sanak saudara. Hanya ibu, aku, kakak dan adikku, kesemuanya wanita Segala sesuatu urusan yang biasanya dikerjakan kaum lelaki, praktis sering kami tangani sendiri.
Di mataku, ibu teramat istimewa. Terlepas dari segala kekurangan cara yang dilakukannya mendidik kami, ibu adalah sesosok wanita yang saat ini boleh dibilang pahlawan bagi kami. Ia selalu berusaha mewujudkan semua yang menjadi keinginan anak-anaknya. Apapun keinginan yang pernah terlontar di mulut kami, ia selalu memikirkannya. Di benaknya langsung terazzam niat untuk mewujudkan setiap keinginan kami itu. Suatu senja, sampailah aku pada perbincangan ngilu bersama ibu. Kukatakan ngilu karena sungguh menyayat naluri perasaanku sebagai anak.
“Gie, harga laptop sekarang berapa?” tanya ibu.
“Laptop? Buat apa, Bu?” aku balik bertanya.
“Ya buat adikmu, kasian dia pengen banget beli laptop.”
“Ah, jangan dipikirkan dulu, Bu! Iis itu masih kuliah semester satu, belum terlalu pentinglah alat itu buat dia. Lagian kan sekarang harga sawit lagi murah, hutang yang lain juga banyak, nanti-nanti ajalah Bu!” sahutku.
“Nggak Gie, kasian dia dari kemarin kepingin banget punya laptop.”
“Tapi ibu kan belum ada uangnya.”
“Pokoknya akan Ibu usahakan.”
Itulah ibuku, ia sangat memikirkan kehendak anak-anaknya. Katanya ia akan sedih jika ada kehendak anaknya yang tidak terlaksana. Bahkan saat kehendak anak-anaknya itu berbuah penderitaan bagi kehidupannya, ia tetap rela menerima.
“Ibu tau kalian sudah sangat tergantung dengan kehidupan kota, sulit jika harus pulang ke desa dan bekerja di sini. Ibu sudah siap tinggal sendiri di kampung, asal kalian sesekali masih sudi menjenguk ibu di sini.” Aku menyeka air mataku sendiri mendengar penuturan wanita yang sangat kuhormati itu. Aku menghujat batinku, memaki betapa tak berbaktinya aku sebagai seorang anak, membiarkan ibundanya seorang diri di kampung demi mengejar cita-cita di kota. Sementara kondisinya sakit-sakitan, ya ibu punya penyakit diabetes, darah tinggi dan mag.
“Bagaimanapun kita harus mencari jalan tengahnya, Bu. Ibu tak boleh sendiri dan cita-cita kami anak ibu tetap bisa tercapai” ujarku akhirnya. Ibu begitu memahami hobiku terhadap dunia tulis menulis. Ia tahu bahwa hobiku itu akan pupus begitu saja bila tidak pada lingkungan yang kondusif. Di kampung, bagaimanapun juga sangat sulit bagiku mengembangkan hobi. Dan ibu sangat-sangat memahami apa yang menjadi kehendak anak-anaknya.
“Maafkan aku ya Bu.” ujarku suatu ketika.
“Kenapa?” tanya ibu.
“Aku belum punya pekerjaan yang layak.”
“Iya, tak apa. Jadi apa cita-citamu sebetulnya?”
“Aku ingin jadi penulis Bu, sungguh aku hanya bercita-cita untuk itu.”
“Apa itu pekerjaan? Seperti apa? Ibu nggak ngerti”
Jawabanku hanya bungkam saat itu, karena aku memang tak bisa menjawabnya. Apa yang bisa aku tunjukkan pada ibu? tak ada, sungguh tak ada. Prestasi kepenulisan aku minim, buku apa lagi, aku belum punya. Tapi kulihat kesabaran di sudut mata itu. Ia begitu ingin melihat aku bahagia dengan pilihanku. Meski aku tahu di benak hatinya juga ada setitik keinginan kami anak-anaknya menjadi seperti layaknya anak-anak tetangga yang lain. Selepas kuliah pulang kampung, jadi PNS dan menikah. Tapi entahlah, kami benar-benar profil anak-anak yang aneh, termasuk aku. Aku tak pernah sama sekali tertarik dengan rutinitas kehidupan seperti itu. Aku ingin menjadi sesosok yang beda dari yang lain, dan aku memilih cara yang lain untuk mewujudkan segenap cita-cita yang kuazzamkan.
Namun aku selalu berusaha mempersiapkan hari untuk bisa menjawab pertanyaan ibu. Tibalah hari itu, aku berlari-lari bahagia. Aku dapat honor menulis yang lumayan, dari berbagai lomba dan usaha yang kuikuti. Mulai dari mengirim tulisan ke media, royalti bukuku, hasil aku menjualkan bukuku dari penerbit, dan honor prestasi kepenulisanku. Aku mengecek dompetku, Masya Allah tinggal seratus ribu. Aku baru ingat kalau sudah cukup banyak yang kukeluarkan untuk memenuhi biaya hidupku. Mana untuk ibu? Perasaanku dibalut kebingungan. Yah, apa boleh buat, berapa pun yang ada akan kuberikan. Uang seratus ribu itu kusimpan baik-baik. Malamnya kutemui ibu yang sedang duduk santai menonton televisi.
“Bu ini ada uang, bisa buat belanja besok.” Ujarku.
“Lho, dari mana?”
“Ya dari kerjaanku. Maaf ya Bu cuma segitu, udah habis buat biaya hidupku di kost.” Ibu senyum-senyum menatapku, aku pura-pura cuek saja, menyimpan sejuta rasa malu. Ya aku sangat malu karena ibu selalu berusaha memenuhi keinginan anak-anaknya, sementara aku sulit sekali untuk bisa membalasnya. (Oleh: Sugiarti)
0 komentar:
Posting Komentar