CERPEN
Cuaca begitu panas. Terik mentari seolah memanggang kulit siapa saja yang lalu lalang di bawahnya. Bangunan megah bergaya arsitektur melayu itu makin ramai. Puluhan kuli tinta berjubel antri di sudut ruangan. Gedung Anggota Dewan yang oleh para kuli tinta tersebut sering diistilahkan dengan Planet Mars. Konon katanya disebabkan dominasi suara sebuah partai besar yang memiliki icon merah, sama seperti Planet Mars, warna merah.
Yudi memutar-mutar kameranya. Letih ia berdesakan diantara rekan-rekannya yang lain. Kali ini ia memutuskan untuk duduk sebentar sambil mencatat keterangan-keterangan penting yang didengarnya beberapa menit lalu. Meski ingatannya tergolong cukup baik, catatan kecil selalu setia menemaninya. Antisipasi kalau-kalau ingatannya bermasalah. Tiba-tiba matanya menatap pria berperawakan sedang yang nampak mengangkat-angkat kamera.
“Zein…….”Yudi memanggil pria tadi.
Si pria menoleh, dari jauh dia tersenyum. Diturunkannya kameranya. Bergegas ia menghampiri Yudi. Agaknya rekannya ini sangat berarti sampai ia meninggalkan posisi strategis yang dari tadi diperjuangkannya antri berjam-jam.
Yudi memutar-mutar kameranya. Letih ia berdesakan diantara rekan-rekannya yang lain. Kali ini ia memutuskan untuk duduk sebentar sambil mencatat keterangan-keterangan penting yang didengarnya beberapa menit lalu. Meski ingatannya tergolong cukup baik, catatan kecil selalu setia menemaninya. Antisipasi kalau-kalau ingatannya bermasalah. Tiba-tiba matanya menatap pria berperawakan sedang yang nampak mengangkat-angkat kamera.
“Zein…….”Yudi memanggil pria tadi.
Si pria menoleh, dari jauh dia tersenyum. Diturunkannya kameranya. Bergegas ia menghampiri Yudi. Agaknya rekannya ini sangat berarti sampai ia meninggalkan posisi strategis yang dari tadi diperjuangkannya antri berjam-jam.
“Zein…….”Yudi memanggil pria tadi.
Si pria menoleh, dari jauh dia tersenyum. Diturunkannya kameranya. Bergegas ia menghampiri Yudi. Agaknya rekannya ini sangat berarti sampai ia meninggalkan posisi strategis yang dari tadi diperjuangkannya antri berjam-jam.
“Hai… Yud, apa kabar kau?” senyum Zein melebar.
“Kau yang apa kabar? Kemana saja kau?” Yudi menarik topi Zein, layaknya sahabat lama yang bernostalgia.
“Aku? Ha..ha..ha..enam bulan aku gantung pena” Zein terkekeh sendiri.
“Gantung pena?”
“Ya, aku istirahat enam bulan dari jurnalistik. Capek aku Yud. Kuputuskan pulang ke Medan menjenguk kakek” sambungnya.
Yudi terdiam. Zein memang idealis. Dulu ia bekerja disebuah harian paling top di kota ini. Sampai suatu hari ia memergoki sendiri, atasannya ada “main atas” dengan pejabat pemerintah. Tanpa pikir panjang Zein memutuskan untuk keluar dari harian tersebut. Keputusan Zein ternyata disusul oleh lima orang rekannya yang lain yang juga mencium indikasi “main atas” tadi. Bersama lima orang rekannya tadi Zein menerima tawaran dari pengusaha terkenal mengelola sebuah media harian. Berbekal semangat dan pengalaman Zein berhasil memajukan harian tadi. Tapi lagi-lagi idealisme Zein diuji. Pengusaha bosnya tadi ternyata seorang koruptor besar yang coba membangun opini publik yang baik untuk dirinya melalui media harian yang dikelola Zein dan kawan-kawan. Bukan Zein namanya kalau tetap bertahan di harian tadi. Tiga orang temannya tetap bertahan. Dua orang memutuskan pindah ke Batam menerima tawaran media harian di sana. Dan Zein memutuskan untuk gantung pena enam bulan. Tapi itulah Zein, mana bisa dia bertahan lama-lama tak menulis. Buktinya ia hadir juga hari ini di Planet Mars, meliput pelaksanaan sidang pengesahan RAPBD propinsi.
“Hey Yud kok diam?bos mu ada di dalam ya?he..he..he” Zein meledek Yudi.
Yudi tersenyum simpul. Yudi tak bisa menggeleng atau mengangguk. Dia teringat Pak Hamdi. Ketua salah sebuah fraksi besar di DPR memang kerap mendekatinya. Agaknya karena Yudi bekerja disebuah harian terkenal. Yudi terkadang tak bisa menolak permintaan Pak Hamid. Publikasi berita-berita yang berpihak kepada partai fraksi tersebut. Beberapa amplop yang disodorkan oleh Pak Hamdi bahkan sempat diterimanya. Yudi tak bisa berbuat banyak, terus terang kalau mengandalkan gaji pekerjaannya biaya hidup dan biaya kuliah S2 nya tak tercukupi. Namun sesungguhnya di hati Yudi tak menginginkan semua itu. Yudi tak bisa seidealis Zein. Tapi juga tak bisa terus menerus berpihak kepada ketak jujuran. Yudi sadar dia telah melanggar kode etik seorang wartawan. ‘Tapi apa yang harus aku lakukan’ batin Yudi mulai tak tenang.
“Yud…kau lihat itu!” Zein menunjuk ke sebuah mobil dinas bercat abu-abu yang terparkir paling depan.
“Mobil dinas itu?kenapa?”
“Kau tau itu milik siapa?”
Yudi menelan ludahnya. Itu mobil dinas milik Pak Hamdi. Zein pasti punya seribu cerita tentang Pak Hamdi. Zein pasti punya banyak informasi tentang Pak Hamdi.
“Kenapa dengan pemiliknya?” Yudi bertanya datar.
“Dia saingan bosku dulu. Aku pikir dia politisi yang bersih, nyatanya mereka sama saja. Kemarin dia menghubungiku, dia menawariku mengelola media yang akan dia buka. Tapi aku tak tertarik. Paling ujung-ujungnya untuk kepentingan politik 2009. Bekerja untuk para penghianat rakyat sangat memalukan bagiku”ungkap Zein serius.
Yudi terdiam membisu. Kata-kata Zein tadi serasa membuat aliran darahnya berhenti. Betul-betul telak menghakimi.
“Hari ini kau bekerja untuk siapa Zei?” Yudi mengalihkan pembicaraan Zein.
Zein tersenyum. Perlahan dia bangkit dari duduknya dan kembali menatap Yudi.
“Aku bekerja untuk diriku sendiri, aku memilih jurnalistik cyber sekarang. Oke Yud, kita turun lagi. Pending sidang sudah dicabut sepertinya. Masih melanjutkan pandangan umum fraksi” Zein berjalan mendahului Yudi menuju ruang sidang. Pria kelahiran Padang Sidempuan itu memang paling terdepan soal memburu berita.
***************
Hampir setengah jam Yudi menunggu. Segelas teh hangat pesanannya pun tinggal beberapa teguk lagi. Iseng matanya mengawasi beberapa mahasiswa yang asyik memanfaatkan jaringan hotspot free di sudut ruangan. Di kota ini memang masih langka area hotspot. Kalau pun ada loadingnya juga lambat. Yudi ingat dulu sewaktu dia masih di bangku S1. Jangankan laptop yang dilengkapi WIFI, komputer saja masih sulit dimiliki. Tapi kondisi kekurangan seperti itu justru membuat para mahasiswa kala itu berjuang keras. ‘Memang manuasia seperti per, akan bergerak bila harus ditekan dulu’ batin Yudi.
“Lama menunggu Yud?” suara di belakang mengejutkannya. Seorang lelaki berusia 50-an tahun menghampiri dan duduk di hadapannya. Pria berdasi itu bukan orang sembarangan. Dialah Pak Hamdi yang diceritakan Yudi, ketua fraksi dari partai peraih suara tiga besar pemilu tahun 2004 lalu. Petang itu Ia mengajak Yudi bertemu.
“Lumayan lah Pak, ada yang bisa saya bantu?”
Pria berkemeja panjang warna biru itu tak menjawab, dipanggilnya pelayan. Dipesannya dua gelas minuman es rumput laut kesukaannya.
“Ayo minum!, ini minuman kesukaan istri saya juga” ujarnya.
Yudi hanya mengangguk. Dia tak berselera. Bukan hanya pada segelas es rumput laut di hadapannya. Tapi yang pasti pada pertemuan sore itu. Ucapan-ucapan Zein berseliweran di kepalanya.
“Saya ada tawaran untuk kamu”
“Tawaran?”
“Ya…saya mau buat harian pagi. Saya yakin kamu bisa ikut bergabung di bisnis saya ini” sahut Pak Hamdi.
“Tapi Pak…”
“Kenapa? Kamu jangan khawatir soal gaji saya jamin tiga kali lipat dari uang gaji kamu sekarang” ujar Pak Hamdi meyakinkan.
“Bukan begitu Pak, maksud saya…saya mau istirahat sebentar dari kerja”
“Istirahat? Maksud kamu?”
“Ehm…saya mau fokus ke tesis dulu Pak, mungkin sekitar beberapa bulan”
Wajah di hadapan Yudi berubah seketika. Yudi sudah memperkirakannya. Tapi biarlah. Ini awal dari Yudi untuk mengikuti jejak Zein. Jejak sahabat yang banyak mengajarkannya arti sebuah kejujuran.
“Oke…kamu pikirkan saja tawaran saya tadi baik-baik. Jangan sampai kamu menyesal. Saya harus pulang sekarang, istri saya mau ke dokter. Dua hari lagi saya tunggu jawaban kamu”.
Pak Hamdi berlalu pergi. Yudi menarik nafas lega. Paling tidak satu langkah telah ia lewati. Soal jawaban dua hari lagi pasti Zein akan mengajarinya. Yudi berharap ini adalah sore terakhir Ia mendapat suguhan es rumput laut dari Pak Hamdi. Segelas minuman yang telah menggadaikan idealisme dan naluri kejujurannya. Tapi petang itu Yudi berjanji, ‘aku harus menjadi wartawan yang berkode etik’ ujarnya dalam hati.
*********************
SARUNG COKLAT RAKA
Ia lihat dirinya jauh dalam kenangan, berlarian di jalan setapak yang sangat ia kenal. Menjinjing layang-layang yang ia buat dari bambu milik Pak Sadikin. Kala itu Raka, bocah kecil asal Desa Wonosari seberang yang kerap menemaninya mengejar layang-layangnya yang sering putus. Kadang tersangkut di pohon mangga sebelah rumahnya. Suasana senja adalah saat-saat menyenangkan. Terlebih kalau deru angin kencang. Bisa sampai menjelang maghrib ia baru pulang ke pondok sederhananya. Itu pun kalau ibunya sudah berteriak-teriak. “Arya…pulang nak! Mandi dan pergi ke surau!”. Surau? Ya…ibunya yang paling telaten menyuruhnya pergi mengaji setiap petang ke surau. Kadang ia malas. Malu dengan teman-temannya. Sarung coklat milik ayahnya, satu-satunya yang sering ia pakai sudah terlalu tua dan kusam. Meski setiap hari ibunya selalu menyetrikanya, tetap saja tak bisa menutupi usia sarung tersebut. Untung kadang Raka berbaik hati, sering dipinjamkannya sarung pada Arya. Maklum saja, Raka dari segi ekonomi sangat jauh berbeda dengan Arya. Ayahnya pedagang sukses di desanya. Ia satu sekolah dengan Raka. Kecemerlangan otak Arya membuat Raka semakin betah bersahabat dengan Arya. Nasib saja yang membedakan masa depan mereka.
Sreekk…Arya menggeser bingkai kecil itu dari mejanya. Matanya kembali terfokus dengan layar microsoft word di hadapannya. Kerinduan itu ia tumpahkan di layar putih di depannya. Bait demi bait mengalir lepas begitu saja. Mungkin itu bakat alaminya menulis puisi. Pernah terpikir olehnya mengasah bakat tersebut. Belajar dengan penyair terkenal di daerahnya. Tapi sampai detik ini niat itu masih sebatas niat saja. Agaknya tulisan-tulisan nonfiksi masih lebih mendominasi minatnya.
“Kau tak pulang Ya?” Angga tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.
“Pulang kemana?”
Angga terdiam. Ia baru ingat Arya sudah tak punya siapa-siapa. Di desanya yang ada Cuma tetangga-tetangganya dulu. Ibunya sudah meninggal saat Arya duduk semester awal di bangku universitas. Pulang ke kampung halamannya sama saja menjemput kepedihan hidup.
“Oke deh, sorry ya. Aku pulang dulu. Kau dan Reza yang tinggal. Kunci kamar kutitip ke Reza, kalau kau perlu apa-apa di kamarku minta saja ke Reza.”
Angga berlalu. Arya menoleh sekilas. Buru-buru ditepisnya keinginan untuk mengunjungi Desa Wonorejo tempat kelahirannya. Diraihnya novel tebal di depannya. Ia tersenyum kecil melirik nama si pengarang novel tadi, Raka Aryadinata. Nama pena Raka sahabatnya yang diadopsi dari namanya. Raka kini telah menjadi penulis terkenal. Novel terbarunya terjual best seller di tanah air. Setahun lalu Ia dan keluarganya pindah ke Jakarta. Belakangan juga terdengar kabar Raka dapat tawaran S2 ke Jerman. ‘Ah…kau beruntung Raka’ desis Arya. Hidup ini memang bukan sebuah novel. Kenyataannya Arya yang sejak dulu serba kekurangan tetap saja seperti itu hari ini. Jangan dibilang ia tak berusaha. Sejak ibunya meninggal, ia banting tulang kerja memenuhi kebutuhan hidup dan biaya kuliah sendiri. Mulai dari bisnis pulsa, order spanduk, bisnis elektronik, kerja part time di rumah makan dan seterusnya. Beruntung ia sering dapat beasiswa. Cukup membantu biaya penelitian kuliahnya. Tapi Raka, sejak kecil ia sudah hidup serba cukup. Dengan mudah ia bisa kuliah di universitas yang ia sukai. Orang tuanya selalu bersedia membiayai segala bentuk keinginan Raka untuk mengembangkan bakat dan potensi dirinya. Tak heran kalau sekarang ia jadi penulis terkenal. Diundang kemana-mana keliling Indonesia.
Arya menutup lamunannya. Ia teringat malam nanti malam Idul Adha. Ia harus ke surau lebih awal, membantu Bang Mudin mengemas surau untuk persiapan takbiran bersama. Diakhiri tulisannya di layar komputer dengan kalimat “Sesungguhnya rezeki tiap hamba Mu sudah tertakar Ya Allah”.
************
Tepat pukul 23.00 Wib Arya sampai di rumah. Reza sudah dari tadi mengurung diri di kamar. Dipungutnya telepon seluler miliknya yang ia tinggalkan begitu saja di atas tempat tidur. Lima pesan masuk. Satu persatu dibukanya. Sampai pada pesan ke empat sebanyak tiga halaman sms:
“Assalamualaikum. Ya…apa kabarmu? Kaget ya? Aku Raka. Aku dapat nomor hp mu dari Roni. Kemarin dia ke Jakarta ikut work shop yang aku isi. Maaf ya lama tak kasi kabar. Tapi aku ada kejutan. Malam ini aku dan ibuku terbang ke Pekanbaru. Aku bawa buku terbaruku untukmu. Ada sarung juga Ya. Warna coklat seperti milikmu dulu. Nanti kita sama-sama pergi ke Wonorejo n Wonosari ya, Tunggu aku Ya!”.
Arya tersenyum bahagia saat itu. Senyum terakhir untuk sahabat lamanya yang selalu baik padanya. Sebab Raka tak menepati janjinya malam itu untuk menemui Arya di rumah kontrakannya.
*************
Pagi Idul Adha semakin menggetirkan untuk Arya. Selepas shalat ia izin dengan Bang Mudin tidak bisa membantu pelaksanaan kurban di surau. Ia langsung kembali ke kontrakannya. Beberapa helai pakaian asal ia masukkan ke dalam ransel. Sekilas ditatapnya bingkai foto di mejanya. Senyum Raka masih terkembang di sana. Dibalikkannya bingkai foto tadi dan dimasukkannya dalam ransel. Arya teringat sarung coklatnya masih di lemari, bergegas dilipatnya dan dimasukkan dalam ransel.
Ada butir-butir kristal tersembunyi di sudut mata Arya. Pikirannya menerawang jauh melintasi jalan-jalan panjang menuju Desa Wonosari. Ban mobil terasa bergerak sangat lambat. Dia harus sampai ke Desa Wonosari paling tidak pukul 11.00 Wib. Upacara pemakaman Raka dan Ibunya pukul 11.30 Wib. Ia ingin bercerita di depan Raka saat ia mulai belajar menulis puisi. Saat ia pertama kali membaca novel Raka. Ia juga ingin menagih janji Raka, mengajaknya jalan-jalan ke Wonorejo dan meminta sarung coklat pemberiannya. Ya…Allah, butiran pertama di sudut mata Raka akhirnya jatuh. Disapunya perlahan, ia sudah berjanji 5 tahun yang lalu untuk tidak menangis lagi setelah ibunya meninggal.
Arya menjatuhkan ranselnya. Wonosari begitu ramai hari ini. Seorang penulis muda kembali ke tanah kelahirannya. Tapi kembali hanya dengan sebuah nama. Kerumunan wartawan terlihat di rumah lama Raka. Beberapa diantara mereka sibuk membahas penyebab pesawat yang ditumpangi Raka gagal lepas landas. Arya melangkah menuju pintu rumah samping.
“Kau Arya…” seraut wajah kusut Om Jaya ayah Raka menyambutnya. Didekapnya Arya. Arya tahu kepedihan hati Om Jaya. Sekuat tenaga Arya menahan kesedihannya.
“Kemarin dia sempat bawa ini untukmu Nak”, Om Jaya menghulurkan bungkusan plastik biru. Arya sudah bisa menebak isinya. Sarung coklat dan Novel terbaru Raka. Arya menyimpan baik-baik bingkisan itu. Sama seperti ia mengabadikan nama Raka dalam perjalanan hidupnya. Dan Raka juga telah mengabadikan namanya di dunia melalui tulisan-tulisannya.
**************
UANG 5000
Wajahnya tampak berseri-seri tersorot mentari senja yang mulai menghangat. Jilbab krem kesayangannya menjuntai-juntai tertiup angin. Hop…Shasha melangkah ringan menuju gedung perkuliahan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Ada perasaan bahagia terselip di hatinya. Bukan karena saat di oplet tadi ia bertemu dengan Rey sahabat lamanya. Tapi tugas yang akan dilaksanakannya sekarang. Ya…wawancara dengan cleaning service kampus. Tugas mulia yang diembannya selaku pengelola bulletin kampus. Senyum Shasha terkembang saat matanya menatap dua bocah kecil asyik bermain di ruang lobi gedung perkuliahan. Terbersit perasaan geli di hati Shasha melihat tingkah polah dua bocah tadi, terbayang di benaknya masa kecilnya, ‘tak jauh beda’ batinnya.
Shasha menghampiri dua bocah tadi.
“Sama siapa, dek? Lagi nunggu Ibu?” tanya Shasha
“Iya Kak, sama emak, lagi nyapu di atas”
“Udah dari tadi?”
“Dari jam 2 siang tadi Kak, ngapa Kak?”
Shasha hanya tersenyum kecil, sementara 2 bocah tadi kembali asyik bermain.
“Kak Lela, adek mintas permennya”
“Jangan…minta sama emak aja! Kakak dikasi kawan kakak”
“Adek mau yang itu, rasa kopi….”
“Ah..jangan!!”
Shasha terdiam sejenak memperhatikan dua bocah tadi. Tangannya meraba saku tas. Ada 2 lembar uang lima ribuan, dan 2 lembar dua puluh ribuan. Dalam hati Shasha juga tersenyum. Ini uang yang dipinjamnya dari Rina tadi pagi. Tapi…
“Dek…sini lah!” seru Shasha.
Betapa girangnya dua bocah tadi menyambut dua lembar uang lima ribuan dari tangan Shasha.
“Makasih ya Kak, kami dapat uang! Kami dapat uang” teriak mereka.
Shasha hanya terbengong, tak menyangka sama sekali respon dua bocah tadi bakal sebahagia itu. Begitu berartikah selembar uang lima ribu bagi mereka? Sementara terkadang ia sendiri menganggap kalau uangnya tinggal lima ribu, sama saja tak punya uang. Shasha masih termenung, saat seorang Ibu setengah baya turun dari tangga dan tersenyum ramah padanya.
“Mak…kami dikasi uang sama kakak ini” ujar Lela sambil memeluk manja Ibunya.
“Bilang makasih cepet!”
“Udah…”
Shasha kembali terdiam. Dalam hatinya ada sedikit rasa malu. ‘Kenapa hanya uang lima ribu yang bisa aku berikan’.
“Dek dari mana?” Tanya Ibu tadi.
“Eh…maaf Bu, saya Shasha mahasiswi MIPA juga, Ibu siapa namanya Bu?”
“Panggil aja Bu Ida” ujarnya.
Setelah memperkenalkan diri Shasha langsung ke tujuan utamanya. Tak sulit bagi Shasha mengorek banyak informasi mengenai kehidupan seorang cleaning service dari Bu Ida. Di iring senda gurau dalam logat jawanya, Bu ida banyak bertutur.
“Kita sehari digaji Rp.13.000,- Dek. Kerjanya dibagi sesi pagi dan siang. Kalau siang ya sampai sore begini.”
“Senengnya pas gimana, Bu ?”
“Kalau lagi wisuda, sering dapat bonus makan siang” Sahut Bu Ida sambil tertawa. Setelah sekitar 15 menit berbincang-bincang dan berfoto, Shasha pun pamit. Ada kepuasan tersendiri di hatinya. Langkahnya begitu pasti menyusuri trotoar kampus. Akan terasa hal yang berbeda ketika berinteraksi dengan kalangan seperti mereka. Ada hal yang patut disyukuri, ada pula yang patut dibantu.
Tiiiiiiiiiiiit!!!
Klakson motor di belakang mengejutkan Shasha.
“Bareng yuk, Sha!” Emil tersenyum manis di balik helm nya.
“Tumben sore-sore masih di kampus, nggak ngajar, Mil?”
“Nih baru mau pergi, cepetan lah! Mau bareng nggak?”
“Iya..iya..”
Sepanjang jalan Shasha lebih banyak diam. Sesekali Emil yang mengajaknya berbincang.
“Sha…aku boleh minta tolong nggak?”
“Kalau aku bisa kenapa nggak?” sahut Shasha.
“Ehm… aku kan mau ke kota ni, boleh pinjem duit nggak? Minyak motorku dah abis, les ku belum gajian Sha”,
“Oya, berapa?”
“Kamu punya berapa?”
Shasha menyodorkan 2 lembar uang dua puluh ribuan sisa yang tadi.
“Ya udah, aku pinjem satu aja, syukron ya.” Ujar Emil bahagia.
Motor Emil berhenti tepat di simpang kost Shasha. Tanpa beban Shasha melangkah sambil mengantongi selembar uang dua puluh ribu rupiah. Padahal itu baru hari Rabu, Shasha pasrah, ntah bagaimana lima hari ke depan dilaluinya dengan selembar uang dua puluh ribuan.
****
Shasha terduduk lemas menatapi lembaran-lembaran proposal penelitiannya. Hampir satu rem kertas HVS dihabiskannya. Namun selalu saja ada kesalahan-kesalahan kecil yang ditemukannya.
“Makanya Sha, ngeprintnya dikit-dikit aja” Ujar Mbak Diah sambil menyodori Shasha sepiring mie goreng.
“Iya..iya. Mie terus Mbak ni” protes Shasha.
“Alah…tapi kamu mau juga kan? orang kimia nggak boleh munafik Sha!”, Mbak Diah malah terkekeh sendiri mentertawakan Shasha.
“Udah lah Mbak, gitu aja dibahas. Sha kan udah hampir sebulan ni nggak makan mie. Eh…gimana ya Mbak kalau proposal Sha ni ditolak?”
“Kok pesimis?”
“Nggak tau lah Mbak, Sha agak trauma aja. Kemarin ngajukan beasiswa ke jurusan ditolak, ngurus ke PEMDA dipersulit, makalah literatur Sha udah pernah dipresentasikan orang. Trus…”
“Trus Sha putus asa sama rahmat Allah?” potong Mbak Diah.
Shasha menarik nafas dalam. Terbayang semua kesulitannya dari awal ia memulai tugas akhir. Mulai dari judul, pembimbing, metodologi, literatur. Oh…rasanya jauh sekali dibanding teman-temannya yang melalui semua hal itu tanpa kendala yang berarti.
“Shaaaa....!!..”
Shasha mengangkat wajahnya, jemarinya menyapu kristal-kristal bening di pipinya.
“Iya Mbak, Sha akan selesaikan proposal ini dan Sha akan tampil gemilang saat presentasi nanti. Mbak percaya sama Sha kan?”
Mbak Dia menatap lekat bola mata teduh itu. Dia tak pernah melihat semangat sekuat itu di mata Shasha. Mbak Diah mengangguk pasti.
****
Tiga bulan sudah berlalu. Shasha tak pernah mengingat-ingat lagi kejadian di sore yang indah bersama lembaran uang lima ribu, tumpukan proposal salah yang menggunung. Kata-katanya ia buktikan. Seminarnya begitu gemilang. Semua yang hadir berkata seperti tidak melihat orang sedang diuji tapi berdiskusi biasa.
Hingga pada suatu siang, saat Shasha sedang asyik membuat larutan di labor, Shasha dikejutkan teriakan Ranti adik tingkatnya.
“Kak Shasha…traktir kami ya!”
“Ini baru Maret Ti, Kakak milad bulan Mei”
“Oya? Kalau gitu traktir dua kali dong kak, he..he..he” Ranti tersenyum-senyum menatap Shasha yang masih cuek.
“Kak..ni ada titipan buat kakak” Ranti menyodorkan kertas putih berlipat.
“Apaan?”
“Lihat aja!”s
Shasha tertegun menatap bagian atas kertas itu. I-MHERE PROJECT HEI-IU UNIVERSITAS RIAU. Ya Allah jadi…mata Shasha menelusuri bagian bawah lembaran itu.
Sehubungan dengan terpilihnya proposal anda sebagai calon pemenang dana bantuan penelitian Student Grant, maka kami mengundang anda pada sosialisasi program ini.
“Tu kan…dua kali traktir ya Kak!”
Shasha tak mampu membendung rasa harunya. Dipeluknya Ranti yang keheranan. Ya Allah, Allah menggandakan uang lima ribunya menjadi lima juta rupiah. Meski itu belum pasti menjadi rezkinya, tapi Allah swt menunjukkan betapa berkuasanya Dia.
By: Zie03
(Teruntuk Bu Ida, semoga nggak lupa sama ana)
FAJAR DI RUMAH ALIM
Keringat dinginnya bersimbah. Gemetar merayap keseluruh tubuhnya. Mulutnya bergerak-gerak tak jelas mengucapkan sesuatu. Isaknya tak tertahan, raungan kecil sesekali terdengar. Gemuruh dahsyat bermain di dadanya. Masih belum sadar, matanya nanar mencari-cari sumber suara itu di sudut-sudut ruangan. Dan lantunan suara itu makin jelas. Alunan yang membuat urat nadi penuh dosanya berhenti berdenyut. Ingin sekali mulutnya berteriak, tapi laksana terkunci. Yang ada justru suara itu semakin jelas seolah menempel di daun telinganya. Pikirannya mereke-reka. Lantunan itu seperti pernah di dengarnya tempoh hari di Surau Bahrul Huda, di pinggir Desa Wonosari seberang. Tapi siapa pula warga Desa Wonosari malam-malam begini mengaji di atas atap rumahnya, di atas loteng mungkin. Tapi tak mungkin. Akal sehatnya masih sempat berpikir. Mulutnya ingin berteriak membangunkan Winoyo yang tertidur pulas di sebelahnya. Tapi jangankan berteriak, satu huruf saja tak mampu terlontar dari bibirnya. Ia rasakan jiwanya seperti luluh lantak. Lemah, betul-betul lemah berhadapan dengan lantunan itu. Sudut-sudut matanya mulai terisi butiran bening yang perlahan mengalir deras. Hatinya menjerit-jerit. Seperti terhakimi. Padahal sepotong kata pun tak ia pahami maknanya dari lantunan-lantunan itu. Suara-suara aneh lain mulai menyelinap di benaknya. ‘Kau memang penuh dosa Lim’, ‘ kau munafik Lim’, ‘kau banyak maksiat Lim’.
Belum usai berisik suara-suara itu, kini jemari kakinya malah berteriak, “Kemana sehari ini kau membawaku Lim? Kau memang keterlaluan!”.
Seperti diajak kompak, tangan kanannya pun ikut menyahut, “ Kau tak takut neraka Lim? Dua hari ini kau memaksaku mengambil uang pinjaman milik desa yang bukan milik mu. Kau memang layak masuk neraka Lim”.
‘Tidak, aku tak seperti itu’. Sesunggukan nya makin hebat. Tapi percuma, kaki, tangan, lutut dan seluruh anggota tubuhnya silih berganti mencaci. Dan lantunan di langit-langit kamarnya semakin keras. Wajahnya pucat penuh keringat. Sekuat tenaga digerakkan mulutnya berteriak. “Tidakkkkkkkk….”
“Hey..Alim, kenapa kau ini? malam-malam teriak-teriak, bangun! bangun!”
“Hah… aku mimpi Win” terengah-engah ia menyahut.
“Ya…kau jam sembilan tadi saja sudah tidur, makanya kau mimpi aneh-aneh” tak ditolehnya sedikitpun wajah Alim yang masih pucat.
“Tidak Win, aku tak bermimpi. Itu seperti kenyataan. Besok pagi juga aku pulang.”
“Hey…really? Why?” pena silver di tangan kanannya sampai terjatuh.
“Dari awal aku sudah ragu ikut dengan proyek gilamu ini. Kau tahu kan Pak Sanjaya itu politisi busuk?”
“Ya, aku tau. Kenapa?”
Alim tak menyahut, dibiarkannya Winoyo melanjutkan kata-katanya.
“Tapi itu dulu Lim. Saat kita masih memakai almamater, idealisme itu bisa kau pegang baik-baik. Tapi sekarang kita butuh uang untuk hidup Lim, dan pekerjaan kita juga tidak sulit kan? Kita cuma bertugas membuat tulisan dan berita yang baik-baik dari Pak Sanjaya. Satu kali terbit berita bisa langsung penuh kantong kita. Kemana-mana ikut dia kampanye, dapat fasilitas lagi. Coba kau bandingkan kalau kita tetap bertahan di harian pagi kasayanganmu itu, kita cuma jadi kontributor murahan”
“Tapi aku tak bisa hidup dari uang hasil korupsian Win. Menulis berita kebohongan, menipu diriku sendiri”
“Jadi sekarang kau mau apa? Pulang?” nada suara Winoya penuh cibiran.
“Ya, aku ingin hidup dengan uang yang halal. Dan kalau pun aku menulis, aku ingin tulisan yang jujur dan mencerdaskan, bukan menipu rakyat.”
“Kau jangan sok idealis Lim, Pak Sanjaya sudah memberikan banyak hal pada kita. Kau tak tau berterima kasih pula”
“Bukan dia yang memberikan semua itu, dia mencuri uang rakyat”
“Alim!!!”
Pemuda itu tak menoleh. Kakinya melangkah menuju pintu kayu jati di tepi sebelah kiri kamarnya. Sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat-ayat AlQuran dari masjid di dusun tetangga.
“Win…kau dengar itu?” Alim berteriak, tubuhnya bergetar.
“Dengar apa? Suara kaset mengaji itu? memangnya kenapa?” Winoyo menghampiri sahabatnya tadi. Keheranan ia melihat tingkah Alim.
“Aku mendengarnya di dalam mimpiku tadi, persis seperti itu. Suara itu ada di kamar. Keras sekali, apa itu Win?”
Winoyo berpikir sejenak,” Ehm…kalau tak salah itu murotal surat Al-Muzammil Lim, di AlQuran juz 29”
“Kau tau dari mana?”
“Dulu waktu di pesantren, kami sering membacanya”
“Ya Allah…” Alim terduduk lemas. Air matanya mengalir deras. Kerinduan memuncak di dadanya. Kerinduan untuk memasrahkan diri pada Zat yang Maha Kuasa.
“Aku mau shalat subuh Win”.
Alim setengah berlari mengejar tempat wudhu di samping rumah panggung yang mereka tempati. Winoyo terbengong-bengong menatap kawan satu kampusnya dulu itu. Hampir setahun belakangan dirinya dan Alim tak pernah lagi melaksanakan kewajiban lima waktu. Di sibukkan dengan pekerjaan, seolah-olah uang adalah tujuan utama hidupnya. Oh…dan Alim ini menyadarkannya. Alim masih bisa berpikir jernih soal Pak Sanjaya, sedang dirinya? Ah…selangkah demi selangkah diikutinya Alim yang seperti tak mau menyudahi wudhunya. Fajar pagi itu tersenyum menatap Alim dan Winoyo.
**************
1 komentar:
assalamu'alaikum ukhti.
ehmmm...
bgus bgt cerpennya. maaf... klo ukhti stju, gmna klo cerpen ini d ksih firewall dn sekuriti. klo perlu tuk styp bhan d artikel ini. krena trkdang ad org2 yg ngmbil krya ukhti trus d publiksi sbg krya dy. ato jga brtndak sperti ky gtu. hehehe :D
ane rsa ukhti tau mksud ane.
syukron. wassalam.
Posting Komentar