PUISI
TERSEBAB DOSA, KAU PUN TERSUJUD
Kenangku pada potongan malam yang bisu
Gelap mati tak beraroma lagu
Membuta jeling mata dara melayu
Hanya tergugu
Cuma termangu
Tersebab dosa peluhnya tersungkur
Ditikam salah yang diukir-ukir
Tinggal sajadahnya melambai-lambai
Tersebab dosa kau pun tersujud
Takut, mati, malu,
Antara yang bermain ditiap-tiap kedip sesalnya
Katanya!
Kau terlalu jauh berlari meninggalkan singgasana Tuhan
Menjemput awan-awan hitam di seberang jalan
Disambut lampu-lampu hitam yang tak menerang
Tapi kau pun teringat!
Tuhan begitu pemurah
Tak hanya nyawa tuan, air pun Dia suguhkan
Kurang apa lagi Dia?
Tersebab sesal kau pun tersujud
DIAM TUAN HENDAK KUBELI
Sepotong diam yang tuan suguhkan lama kunanti-nanti
Mendekatkan jiwa pada sinaran luka rembulan malam
Tapi sakitnya malah menerang seonggok jiwa kerdil
Menyeret tawa-tawa kecil harapan puan
Sepotong diam yang kau hidang lama kucari-cari
Antara petang siang berganti tak pandang tuan
Pekat gulita berlebur temaram di simpang jalan
Sepotong diam yang kau tawar hendak kubeli
Tak laku di keranjang tuan duduk di pinggiran
Biar kuramu air mata, sesal abadi puan
Esok hari kan kutemu bincang-bincang
Mereka yang salut dengan diam tuan
Dan mereka tersenyum-senyum kecil
Diam yang tuan tawar telah kubeli dengan senyuman
Antara alif dan lam
Tuhanmu begitu pemurah
Menyayang jiwa-jiwa yang tercecer
Menyambut nafas-nafas tak sampai
Menunggu langkah-langkah terseok
Antara alif dan lam
Sujud-sujud itu begitu kecil
Lautan tangis hanya tetes-tetes
Rintihan doa hanya bisik-bisik
Antara alif dan lam
Kutemu sejuta aksara kesyukuran
Baris-baris penghambaan
Batas-batas keimanan
Hukum-hukum kebenaran
Antara alif dan lam
Sejuta rahasia tak terpecahkan
Tak terpecahkan…
Tak Rindukah pada langit
(Juli 2008)
Sayapnya patah mengibas keangkuhan
Kepakannya kandas di daun-daun hijau
Kicaunya memekak anak semut yang kesiangan
Tuhan…izinkan aku terbang
Rintihnya …
Separuh pagi menjejalkan kekenyangan diperutnya
Dan ia lupa siang membayang dalam terik yang tak sudah
Belum pun petang menjemput
Ia akan mati dalam dahaga musyafir yang ngeri
Tuhan…izinkan aku bertemu malam
Pujuknya…
Kupu-kupu hinggap dihelaannya
Ia masih bersiul-siul dalam kebisuan
Hingga sakit mati memutus nadi
Tuhan…izinkan aku menjemput langit
Sesalnya...
Catatan Senja
(Mei 2008)
Duhai ukhti....
Masih kuingat sepenggal memori di teras senja itu
Saat senyum terukir dalam catatan kecil syuromu
Merisik canda dalam helaan ungkap tegasmu
Merajut benang putih bernama ukhuwah
Hari ini aku tertadah ngeri
Catatan itu telah kosong tiada goresan
Entah karna langkahku terlambat menjemput senja
Atau pundakku yang telah kering dengan amanah
Kau tak lagi menatap si camar di seberang sana
Aku rindu cerita indah di surau itu
Saat kau pamirkan mushaf indah padaku
Kau selakan jajanan kecil dalam tausiyahmu
Asa itu telah kupendam dalam zikirku
Meski jauh angan...
Tak tau kemana kan berdermaga
Hari ini...
Ketegasanmu adalah lembaran cita syurgamu
Dan biarlah aku berkelana dengan pena yang tak terasah
Hingga perjalanan ini kan terhenti menuju abadi
Rindu Menjemput Langit
(Juli 2008)
Tegakku tak semenjulang cemara di arafah Nya
Oasis yang menggenang
Itupun tak sesempurnaku
Kasturi yang mewangi
Itupun tak pekertiku
Mawar yang cantik
Itupun tak rupaku
Segumpal darah itu adalah ruhku, ruhmu, milikNya
Dan kini ia merindu
Terbang, Berlari, Berjalan
Bermimpi, bercerita,bercanda
Menjemput Tuhan
Langkahku, langkahmu, terseok-seok memburu suci
Malaikat kian menghampiri nafas-nafas kecil kita
Sambut dan sahutlah salamnya
Langit telah menjemput kita
Jika kau dan aku tak berpikir
(Juli 2008)
Kupikir aku buta pada dunia
Kupikir aku tuli pada laut
Kupikir aku bisu pada langit
Kupikir aku diam pada waktu
Kau pikir aku tak punya mata melihat hitam putih
Kau pikir aku tak punya telinga mendengar kicau kenari
Kau pikir aku tak mampu berkata pada mega yang menyala
Kau pikir aku tak mampu berjalan dalam kepincangan
Mari kita berpikir tentang air yang mengalir
Mari kita berpikir tentang angin yang berhembus
Mari kita berpikir tentang api yang tak padam
Mari kita berpikir tentang melati yang menguntum seri
Jika Ku Tak Bangun Malam Ini
Jika ku tak bangun malam ini...
Kutau jejalan maksiat yang menumpah ruang penghambaan
Kelakar kosong yang kugelar di pentas siang
Atau...
Selimut setan yang memoles kehangatan
Weker usang yang hanya merisik helaan
Jika ku tak bangun malam ini...
Kutau aisyah-aisyah di luar sana tetap khusyu’ dalam sujudnya
Dan aku hanya dilena mimpi tak berujung
Aku malu...
Malaikat datang menjenguk dan aku alpa
Lalu apa pesanku padanya?
Pantaskah surat cinta pada Allah aku titipkan?
Layak kah kusodor lembar-lembar doa yang kutulis tadi siang?
Sedang aku tak menyambutnya, tak mempersilahkannya..
Jika ku tak bangun malam ini...
Ku ingin seribu aisyah menjagakanku
Ku ingin dingin wudhu mereka membasahkan nadiku
Kuingin..............
Jika ku tak bangun malam ini...
Biarlah ini menjadi malam kerdil si pemburu asa
Biarlah ia berlama-lama esok di dhuhanya
Biarlah kering lidahnya melafal kalimah cintaNya
Biarlah sebelum fajar ia berletih-letih
Pekanbaru, Mei 2008
Kepada Para Pemegang Kalkulator Negri
Kepada para pemegang kalkulator negri
Aku berpesan...
Tak semua kami se jenius Al-khawarizmi
Tak semua kami mengerti politik aritmatik
Probabilitas harga minyak dunia
Jangan biarkan silinder-silinder hidup kami kosong
Jangan biarkan dapur-dapur kami menjadi kubus rapuh
Kepada para pemegang kalkulator negri
Aku berpesan...
Jangan biarkan subsidi basi itu dikecap parsial
Terlalu banyak lingkaran-lingkaran ketakpuasan
Wajah-wajah letih yang mulai mengerucut
Berintegrasi dalam pekik-pekik liar di jalanan
Kepada para pemegang kalkulator negri
Aku berpesan...
Tolong lihat disetiap sudut gubuk rakyatmu
Tolong perhatikan nyala sumbu kompor hidup kami
Kepada para pemegang kalkulator negri
Aku berpesan...
Ketahuilah!
Aritmatik hitunganmu tak kan salah
Persentasi BLT mu tak pernah tersalah arah
Statistik hitung-hitungan mu tak khilaf kira
Bila engkau bisa menghadirkan nurani
Bila engkau ingat kembali
Siapa yang memilihmu memegang kalkulator negri
Pekanbaru, Mei 2008
KURMA YANG KUSEMAI
(Juli,2008)
Aku jengah menatap waktu
Digilas opera bisu dipagi buta
Dimamah garang pendar usia
Dan petangku pun dirayu manja musyafir lalu
Kau tau hidup itu setengah masa
Tak seperti buana mimpi semalam
Terkecoh, dekur panjang serak
Lalu jalan firdaus itu dimana
Sembunyi dalam kantong lusuh anak jalanan
Tersulam di kerudung aisyah yang kau sapa tadi siang
Tatapku pada langkah yang menjanjikan
Sebutir kurma yang ku semai di pelataran syurga
Menumbuh, bertunas
Tak legam dikobar bara ria yang kupendam
FANA
Dingin yang menghias
Embun pagi yang merindu petang
Tirai kabut memujuk selaksa mega
Mentari pagi berburu surya senja
Dan kau pun acuh
Siang yang mengidam malam
Dan bulan rindu bersanding dengan matahari
Dan kau pun angkuh
Lihatlah si pengembala berkisah
Tentang selembar daun yang menghijau
Menguning,menua dan gugur
Dan engkau di lembar yang mana?
Engkau di ranting yang mana?
Engkau di dahan yang mana?
Engkau pupus yang mana?
BERDIRI DI NEGRI SENJA
Awan masih menyelubung ngeri
Pada negri senja yang tak terawat
Jejak pengemis jalanan berjajar dalam rentetan bedil-bedil
Sementara
Pesta digelar di meja bundar tua
Denting gelas mengalun antara serakan lembar mawar
Janji pencuri berdasi tak bisa dipercaya
Menyeret si bocah dalam peluru kematian
Pagi, petang dan malam
Laras senapan beralamat
Awan masih menyelubung ngeri
Pada negri senja yang tak terawat
Pijar Philips di rumah-rumah pudar
Pena penyair terlontar dalam desingan panjang
Hamparan buku-buku bacaan tak menyapa tuan
Kebul asap mesin kehidupan mulai menipis
Si anak bercerita di daun jendela
Katanya negri ini tak berbapak
Mati, jauh pergi tak bernaluri
Ibunya lacur di gelap kemoderenan
Patutlah si anak terlunta-lunta
Tak jarang mengerang
Mencuri sebutir nasi tetangga
Bertaruh pancung di negri jiran
Awan masih menyelubung ngeri
Pada negri senja yang tak terawat
BAPAK TAK TAKUT KUALAT
Pesta negri tak berbapak digelar
Menumpah sergah bagai jalar
Mengundang tangis di pelatar
Sayap rengit berjajar
Anak bapak teriak-teriak
Tengu mungil mati tersentak
Lah, kok bapak datang pulang?
Menjemput peti dalam tongkang
Rupanya tulang-tulang
Mata-mata dah berang
Memang kau mambang
Tak patutkah anak berharap
Yang bapak sigap-sigap
Pakai peci pergi mengaji
Anak takut azab dahsyat
Bapak tak takut kualat
Geram
Sergahku pada yang menatap geram
Aku bukan sekam
Diam meledak
Dan kau terbahak
Kepala berputar
Otakku terlontar
NUR
(oktober 2008)
Kataku terbata
Dijemput mimpi yang mengambang
Rusak di alas peraduan lena yang mengosong
Tercari dalam samar
Tetes yang menghidupkan nadi
Memotong mimpi
Keluh yang tak tersambut
biar mengalir ke muara semu
Tak tertampung dalam wadah pikiran
Kutelusur sinar digelap yang memekat
Di atas sajadah tak bertulis cinta
KAU tak mengenali
Aku lah si pemburu cinta Mu
Sebutir biji kesyukuran
(Oktober 2008)
Barangkali Dia sedang menguji
Hamparan lahan kering nikmat
Tak tersisa butir-butir kehidupan
Nun di sana
Lihatlah!
Ketika berondol jadi lambang kekufuran
Tak sadarkah?
Dia selalu menatap
Dan tasbih mungkin sudah lambat
Syukur pun sudah sekarat
Kini biji-biji rezeki itu bagai azab
Sujud Mayat
(Oktober, 2008)
Malam kini menatap
Pada sujud mayat
Matanya mengatup
Jiwanya kalah
melanglang pekat yang memekat
Tak sadar pikiran merayap
Mencabik khusu’ alas sujud yang membentang
Katanya pada malam, mari berburu pahala
Tapi si sajadah pun malu menatap tuan
Hati dan laku yang tak seiringan
Sujud itu milik si mayat
Bukan si renta yang berpaling dari realita
Tapi tetap saja ini bukan dosa
Hanya sujud ini milik si mayat
ZIKIR SEBUTIR PASIR
(November 2008)
SUGIARTI
Diantara hamparan memutih di tepi biru
Sesekali deburan pantai menjenguk
Aku terhempas
Sang nakhoda berlalu tak menoleh
Kan…
Zikir ini milik sebutir pasir
Yang memecah dalam genangan
Lalu lalang nelayan memandang
Zikir ini hanya sebutir pasir
Tak berarti memuji langit
Bahkan elang pun enggan
Di sana…
Di seberang laut yang terus hidup
Terkembang awan putih
Ia tak memudar
Meski deras gelombang
BATAS-BATAS KETAKUTAN
(November 2008)
SUGIARTI
Kudekap waktu yang sekarat
Pejal usia yang mendekat
Dalam batas-batas ketakutan
Menghukum janji penghambaan
Ku kejar laut yang membiru
Agar tak dicuri masa petangku
Membungkus kisah indah di tepi pantai
Ah…dendang waktu rupanya uzur
Segalanya terlewat di subuh buta
Senja berlari dalam pilu
Janjiku padaNya tercecer
Aku di batas-batas ketakutan
Aku Pilihan Tuhan
Kau tau aku pilihan Tuhan?
Bersaing hidup mati
Selembar nafas
Kudapat
Kau tau aku pilihan Tuhan?
Tak layak kau culas
Asal cakap
DENTING TAK SAMPAI
(November 2008)
SUGIARTI
Nyanyian ini memujiMu
Meski denting-denting tak sampai
Dalam tak sadar
Bukan seperti zikir wali yang suci
Kupilih dalam alunan
Yang menggetar-getar
Nada gusar ini penuh harap
Layaknya tasbih
Merintih-rintih
Bukan malu pada laut
Kucipta sudah lagu buatNya
Tapi firmanNya membuatku kerdil
PUISI
Waktu itu telah mengembun
Dalam usia yang mendekat
Tertadah mimpi di sujud-sujud tak berarah
Titipan asa semalam
Berlayar…lalu
Ke negri dongeng
Pagi-pagi menagih cerita
Sedang malam tak dilaluinya
Dunia ini bukan mie instan
Tapi krikil-krikil tajam menuju firdaus
Bila paruh terluka…bidadari jannah penawarnya
SAJADAH BIRU
Sepenggal cerita di gubuk senja
Saat kau hadiahkan sajadah biru
Antara tetes-tetes peluh yang membasah
Kenangku dalam sujud
Latahmu memarahiku
Menyapu dingin air wudhu di wajahku
Menuntun lafal-lafal zikir shalat
Kini lembaran itu tersisa di potret usang
Kau telah menghadap Tuhan
Sajadah birumu berteriak-teriak panjang
Nak!
Rajinlah sembahyang
Tapi
Ku kabarkan padamu ibu
Hari ini Tuhan telah menatapku
Mengajakku bermain-main di atas sajadah birumu
Hari ini
22 Desember
Ku kabarkan padamu ibu
Bingkisan doa ku titip pada Tuhan
Kan Dia sampaikan padamu
D i s a n a
Takut, mati, malu,
Antara yang bermain ditiap-tiap kedip sesalnya
Katanya!
Kau terlalu jauh berlari meninggalkan singgasana Tuhan
Menjemput awan-awan hitam di seberang jalan
Disambut lampu-lampu hitam yang tak menerang
Tapi kau pun teringat!
Tuhan begitu pemurah
Tak hanya nyawa tuan, air pun Dia suguhkan
Kurang apa lagi Dia?
Tersebab sesal kau pun tersujud
DIAM TUAN HENDAK KUBELI
Sepotong diam yang tuan suguhkan lama kunanti-nanti
Mendekatkan jiwa pada sinaran luka rembulan malam
Tapi sakitnya malah menerang seonggok jiwa kerdil
Menyeret tawa-tawa kecil harapan puan
Sepotong diam yang kau hidang lama kucari-cari
Antara petang siang berganti tak pandang tuan
Pekat gulita berlebur temaram di simpang jalan
Sepotong diam yang kau tawar hendak kubeli
Tak laku di keranjang tuan duduk di pinggiran
Biar kuramu air mata, sesal abadi puan
Esok hari kan kutemu bincang-bincang
Mereka yang salut dengan diam tuan
Dan mereka tersenyum-senyum kecil
Diam yang tuan tawar telah kubeli dengan senyuman
Antara alif dan lam
Tuhanmu begitu pemurah
Menyayang jiwa-jiwa yang tercecer
Menyambut nafas-nafas tak sampai
Menunggu langkah-langkah terseok
Antara alif dan lam
Sujud-sujud itu begitu kecil
Lautan tangis hanya tetes-tetes
Rintihan doa hanya bisik-bisik
Antara alif dan lam
Kutemu sejuta aksara kesyukuran
Baris-baris penghambaan
Batas-batas keimanan
Hukum-hukum kebenaran
Antara alif dan lam
Sejuta rahasia tak terpecahkan
Tak terpecahkan…
Tak Rindukah pada langit
(Juli 2008)
Sayapnya patah mengibas keangkuhan
Kepakannya kandas di daun-daun hijau
Kicaunya memekak anak semut yang kesiangan
Tuhan…izinkan aku terbang
Rintihnya …
Separuh pagi menjejalkan kekenyangan diperutnya
Dan ia lupa siang membayang dalam terik yang tak sudah
Belum pun petang menjemput
Ia akan mati dalam dahaga musyafir yang ngeri
Tuhan…izinkan aku bertemu malam
Pujuknya…
Kupu-kupu hinggap dihelaannya
Ia masih bersiul-siul dalam kebisuan
Hingga sakit mati memutus nadi
Tuhan…izinkan aku menjemput langit
Sesalnya...
Catatan Senja
(Mei 2008)
Duhai ukhti....
Masih kuingat sepenggal memori di teras senja itu
Saat senyum terukir dalam catatan kecil syuromu
Merisik canda dalam helaan ungkap tegasmu
Merajut benang putih bernama ukhuwah
Hari ini aku tertadah ngeri
Catatan itu telah kosong tiada goresan
Entah karna langkahku terlambat menjemput senja
Atau pundakku yang telah kering dengan amanah
Kau tak lagi menatap si camar di seberang sana
Aku rindu cerita indah di surau itu
Saat kau pamirkan mushaf indah padaku
Kau selakan jajanan kecil dalam tausiyahmu
Asa itu telah kupendam dalam zikirku
Meski jauh angan...
Tak tau kemana kan berdermaga
Hari ini...
Ketegasanmu adalah lembaran cita syurgamu
Dan biarlah aku berkelana dengan pena yang tak terasah
Hingga perjalanan ini kan terhenti menuju abadi
Rindu Menjemput Langit
(Juli 2008)
Tegakku tak semenjulang cemara di arafah Nya
Oasis yang menggenang
Itupun tak sesempurnaku
Kasturi yang mewangi
Itupun tak pekertiku
Mawar yang cantik
Itupun tak rupaku
Segumpal darah itu adalah ruhku, ruhmu, milikNya
Dan kini ia merindu
Terbang, Berlari, Berjalan
Bermimpi, bercerita,bercanda
Menjemput Tuhan
Langkahku, langkahmu, terseok-seok memburu suci
Malaikat kian menghampiri nafas-nafas kecil kita
Sambut dan sahutlah salamnya
Langit telah menjemput kita
Jika kau dan aku tak berpikir
(Juli 2008)
Kupikir aku buta pada dunia
Kupikir aku tuli pada laut
Kupikir aku bisu pada langit
Kupikir aku diam pada waktu
Kau pikir aku tak punya mata melihat hitam putih
Kau pikir aku tak punya telinga mendengar kicau kenari
Kau pikir aku tak mampu berkata pada mega yang menyala
Kau pikir aku tak mampu berjalan dalam kepincangan
Mari kita berpikir tentang air yang mengalir
Mari kita berpikir tentang angin yang berhembus
Mari kita berpikir tentang api yang tak padam
Mari kita berpikir tentang melati yang menguntum seri
Jika Ku Tak Bangun Malam Ini
Jika ku tak bangun malam ini...
Kutau jejalan maksiat yang menumpah ruang penghambaan
Kelakar kosong yang kugelar di pentas siang
Atau...
Selimut setan yang memoles kehangatan
Weker usang yang hanya merisik helaan
Jika ku tak bangun malam ini...
Kutau aisyah-aisyah di luar sana tetap khusyu’ dalam sujudnya
Dan aku hanya dilena mimpi tak berujung
Aku malu...
Malaikat datang menjenguk dan aku alpa
Lalu apa pesanku padanya?
Pantaskah surat cinta pada Allah aku titipkan?
Layak kah kusodor lembar-lembar doa yang kutulis tadi siang?
Sedang aku tak menyambutnya, tak mempersilahkannya..
Jika ku tak bangun malam ini...
Ku ingin seribu aisyah menjagakanku
Ku ingin dingin wudhu mereka membasahkan nadiku
Kuingin..............
Jika ku tak bangun malam ini...
Biarlah ini menjadi malam kerdil si pemburu asa
Biarlah ia berlama-lama esok di dhuhanya
Biarlah kering lidahnya melafal kalimah cintaNya
Biarlah sebelum fajar ia berletih-letih
Pekanbaru, Mei 2008
Kepada Para Pemegang Kalkulator Negri
Kepada para pemegang kalkulator negri
Aku berpesan...
Tak semua kami se jenius Al-khawarizmi
Tak semua kami mengerti politik aritmatik
Probabilitas harga minyak dunia
Jangan biarkan silinder-silinder hidup kami kosong
Jangan biarkan dapur-dapur kami menjadi kubus rapuh
Kepada para pemegang kalkulator negri
Aku berpesan...
Jangan biarkan subsidi basi itu dikecap parsial
Terlalu banyak lingkaran-lingkaran ketakpuasan
Wajah-wajah letih yang mulai mengerucut
Berintegrasi dalam pekik-pekik liar di jalanan
Kepada para pemegang kalkulator negri
Aku berpesan...
Tolong lihat disetiap sudut gubuk rakyatmu
Tolong perhatikan nyala sumbu kompor hidup kami
Kepada para pemegang kalkulator negri
Aku berpesan...
Ketahuilah!
Aritmatik hitunganmu tak kan salah
Persentasi BLT mu tak pernah tersalah arah
Statistik hitung-hitungan mu tak khilaf kira
Bila engkau bisa menghadirkan nurani
Bila engkau ingat kembali
Siapa yang memilihmu memegang kalkulator negri
Pekanbaru, Mei 2008
KURMA YANG KUSEMAI
(Juli,2008)
Aku jengah menatap waktu
Digilas opera bisu dipagi buta
Dimamah garang pendar usia
Dan petangku pun dirayu manja musyafir lalu
Kau tau hidup itu setengah masa
Tak seperti buana mimpi semalam
Terkecoh, dekur panjang serak
Lalu jalan firdaus itu dimana
Sembunyi dalam kantong lusuh anak jalanan
Tersulam di kerudung aisyah yang kau sapa tadi siang
Tatapku pada langkah yang menjanjikan
Sebutir kurma yang ku semai di pelataran syurga
Menumbuh, bertunas
Tak legam dikobar bara ria yang kupendam
FANA
Dingin yang menghias
Embun pagi yang merindu petang
Tirai kabut memujuk selaksa mega
Mentari pagi berburu surya senja
Dan kau pun acuh
Siang yang mengidam malam
Dan bulan rindu bersanding dengan matahari
Dan kau pun angkuh
Lihatlah si pengembala berkisah
Tentang selembar daun yang menghijau
Menguning,menua dan gugur
Dan engkau di lembar yang mana?
Engkau di ranting yang mana?
Engkau di dahan yang mana?
Engkau pupus yang mana?
BERDIRI DI NEGRI SENJA
Awan masih menyelubung ngeri
Pada negri senja yang tak terawat
Jejak pengemis jalanan berjajar dalam rentetan bedil-bedil
Sementara
Pesta digelar di meja bundar tua
Denting gelas mengalun antara serakan lembar mawar
Janji pencuri berdasi tak bisa dipercaya
Menyeret si bocah dalam peluru kematian
Pagi, petang dan malam
Laras senapan beralamat
Awan masih menyelubung ngeri
Pada negri senja yang tak terawat
Pijar Philips di rumah-rumah pudar
Pena penyair terlontar dalam desingan panjang
Hamparan buku-buku bacaan tak menyapa tuan
Kebul asap mesin kehidupan mulai menipis
Si anak bercerita di daun jendela
Katanya negri ini tak berbapak
Mati, jauh pergi tak bernaluri
Ibunya lacur di gelap kemoderenan
Patutlah si anak terlunta-lunta
Tak jarang mengerang
Mencuri sebutir nasi tetangga
Bertaruh pancung di negri jiran
Awan masih menyelubung ngeri
Pada negri senja yang tak terawat
BAPAK TAK TAKUT KUALAT
Pesta negri tak berbapak digelar
Menumpah sergah bagai jalar
Mengundang tangis di pelatar
Sayap rengit berjajar
Anak bapak teriak-teriak
Tengu mungil mati tersentak
Lah, kok bapak datang pulang?
Menjemput peti dalam tongkang
Rupanya tulang-tulang
Mata-mata dah berang
Memang kau mambang
Tak patutkah anak berharap
Yang bapak sigap-sigap
Pakai peci pergi mengaji
Anak takut azab dahsyat
Bapak tak takut kualat
Geram
Sergahku pada yang menatap geram
Aku bukan sekam
Diam meledak
Dan kau terbahak
Kepala berputar
Otakku terlontar
NUR
(oktober 2008)
Kataku terbata
Dijemput mimpi yang mengambang
Rusak di alas peraduan lena yang mengosong
Tercari dalam samar
Tetes yang menghidupkan nadi
Memotong mimpi
Keluh yang tak tersambut
biar mengalir ke muara semu
Tak tertampung dalam wadah pikiran
Kutelusur sinar digelap yang memekat
Di atas sajadah tak bertulis cinta
KAU tak mengenali
Aku lah si pemburu cinta Mu
Sebutir biji kesyukuran
(Oktober 2008)
Barangkali Dia sedang menguji
Hamparan lahan kering nikmat
Tak tersisa butir-butir kehidupan
Nun di sana
Lihatlah!
Ketika berondol jadi lambang kekufuran
Tak sadarkah?
Dia selalu menatap
Dan tasbih mungkin sudah lambat
Syukur pun sudah sekarat
Kini biji-biji rezeki itu bagai azab
Sujud Mayat
(Oktober, 2008)
Malam kini menatap
Pada sujud mayat
Matanya mengatup
Jiwanya kalah
melanglang pekat yang memekat
Tak sadar pikiran merayap
Mencabik khusu’ alas sujud yang membentang
Katanya pada malam, mari berburu pahala
Tapi si sajadah pun malu menatap tuan
Hati dan laku yang tak seiringan
Sujud itu milik si mayat
Bukan si renta yang berpaling dari realita
Tapi tetap saja ini bukan dosa
Hanya sujud ini milik si mayat
ZIKIR SEBUTIR PASIR
(November 2008)
SUGIARTI
Diantara hamparan memutih di tepi biru
Sesekali deburan pantai menjenguk
Aku terhempas
Sang nakhoda berlalu tak menoleh
Kan…
Zikir ini milik sebutir pasir
Yang memecah dalam genangan
Lalu lalang nelayan memandang
Zikir ini hanya sebutir pasir
Tak berarti memuji langit
Bahkan elang pun enggan
Di sana…
Di seberang laut yang terus hidup
Terkembang awan putih
Ia tak memudar
Meski deras gelombang
BATAS-BATAS KETAKUTAN
(November 2008)
SUGIARTI
Kudekap waktu yang sekarat
Pejal usia yang mendekat
Dalam batas-batas ketakutan
Menghukum janji penghambaan
Ku kejar laut yang membiru
Agar tak dicuri masa petangku
Membungkus kisah indah di tepi pantai
Ah…dendang waktu rupanya uzur
Segalanya terlewat di subuh buta
Senja berlari dalam pilu
Janjiku padaNya tercecer
Aku di batas-batas ketakutan
Aku Pilihan Tuhan
Kau tau aku pilihan Tuhan?
Bersaing hidup mati
Selembar nafas
Kudapat
Kau tau aku pilihan Tuhan?
Tak layak kau culas
Asal cakap
DENTING TAK SAMPAI
(November 2008)
SUGIARTI
Nyanyian ini memujiMu
Meski denting-denting tak sampai
Dalam tak sadar
Bukan seperti zikir wali yang suci
Kupilih dalam alunan
Yang menggetar-getar
Nada gusar ini penuh harap
Layaknya tasbih
Merintih-rintih
Bukan malu pada laut
Kucipta sudah lagu buatNya
Tapi firmanNya membuatku kerdil
PUISI
Waktu itu telah mengembun
Dalam usia yang mendekat
Tertadah mimpi di sujud-sujud tak berarah
Titipan asa semalam
Berlayar…lalu
Ke negri dongeng
Pagi-pagi menagih cerita
Sedang malam tak dilaluinya
Dunia ini bukan mie instan
Tapi krikil-krikil tajam menuju firdaus
Bila paruh terluka…bidadari jannah penawarnya
SAJADAH BIRU
Sepenggal cerita di gubuk senja
Saat kau hadiahkan sajadah biru
Antara tetes-tetes peluh yang membasah
Kenangku dalam sujud
Latahmu memarahiku
Menyapu dingin air wudhu di wajahku
Menuntun lafal-lafal zikir shalat
Kini lembaran itu tersisa di potret usang
Kau telah menghadap Tuhan
Sajadah birumu berteriak-teriak panjang
Nak!
Rajinlah sembahyang
Tapi
Ku kabarkan padamu ibu
Hari ini Tuhan telah menatapku
Mengajakku bermain-main di atas sajadah birumu
Hari ini
22 Desember
Ku kabarkan padamu ibu
Bingkisan doa ku titip pada Tuhan
Kan Dia sampaikan padamu
D i s a n a
1 komentar:
assalamu'alaikum ukhtiy...
afwan...
kyanya puisi ini pnuh makna dh. kren. syar'i. two tumbs.
klo blh sran, gmbarny d kcilkn sja. biar reader bs lbh mnikmti dn pnsran sma isinya. klo bs, gmbr d knan ajha. klo d kiri, ky artikel jdinya. hehehe
syukro buat prhtiannya.
jazakallah buat undanganny.
Posting Komentar