WANITA
ANNISA DAN AIR MATA
Dan sungguh karena kelembutan yang ada pada mereka, tidaklah pantas untuk disia-sia. Dia tercipta dengan segenap perasaan yang dianugrahkan Sang Khalik, membalut setiap gerak dan langkahnya. Air matanya adalah ungkapan perasaan yang secara fitrah akan muncul ketika ada ketaknyamanan dalam dirinya. Apakah ini keistimewaan? Tak semua bersepakat. Kau mungkin malah merasa risih. Lalu untuk apa sebenarnya mereka menangis?
Suatu ketika, kutilik jiwa seorang putri yang tengah terluka. Ia katakan kepedihan teramat sangat mengguris hatinya, keresahan menghantui, malahan merasa rindu dengan ketenangan “bizikrillahi tathmainnalqulub”. Lalu serta merta air matanya mengalir deras. Kubiarkan saja ia menumpahkan kepedihan hatinya, dengan tetap menghargainya, kubisikkan kata demi kata yang mungkin bisa menenangkan perasaannya. Ku tunggu tangisnya sampai tangisnya reda, benar saja tangisnya pun berhenti. Sketsa ketenangan begitu terpancar dari wajahnya. Luar biasa, tak pernah kulihat wajahnya secerah itu sebelumnya, meski sesunggukan masih sesekali terlihat.
Kupikir, tak semua orang jika dalam posisiku mau menunggu si putri tadi berhenti menangis. Kenyataannya kerap kali kulihat mereka yang justru merasa risih, muak dan bosan melihat tetes-tetes peluah perasaan tadi. Wanita adalah jiwa penuh perasaan. Dan perasaan hanya dapat disentuh dengan perasaan pula. Lalu bagaimana jika perasaan berbenturan dengan logika yang berapi-api? Mungkin tak kan ada titik temunya. Ibarat timur dan barat, ia hanya akan bertemu apabila kedua-duanya mau sama-sama sedikit berbaik hati menggeser posisi. Mengalah untuk sebuah titik capai yang adil bagi kedua belah pihak. Sebab walau bagaimanapun tak mungkin kita mengingkari fitrah.
Saat kita berbicara tentang wanita, kupikir ini adalah bagian keistimewaan dunia. Wanita yang dicipta dengan segala kelebihan dan kekurangan yang cukup-cukup adil. Keshalihan menghiasi diri mereka, kelembutan membalut perangai mereka. Meskipun terlalu berlebihan kalau kita menuntut mereka sama mutlak seperti Aisyah, menjadi Fatimah dan lainnya.
Kupikir, tak semua orang jika dalam posisiku mau menunggu si putri tadi berhenti menangis. Kenyataannya kerap kali kulihat mereka yang justru merasa risih, muak dan bosan melihat tetes-tetes peluah perasaan tadi. Wanita adalah jiwa penuh perasaan. Dan perasaan hanya dapat disentuh dengan perasaan pula. Lalu bagaimana jika perasaan berbenturan dengan logika yang berapi-api? Mungkin tak kan ada titik temunya. Ibarat timur dan barat, ia hanya akan bertemu apabila kedua-duanya mau sama-sama sedikit berbaik hati menggeser posisi. Mengalah untuk sebuah titik capai yang adil bagi kedua belah pihak. Sebab walau bagaimanapun tak mungkin kita mengingkari fitrah.
Saat kita berbicara tentang wanita, kupikir ini adalah bagian keistimewaan dunia. Wanita yang dicipta dengan segala kelebihan dan kekurangan yang cukup-cukup adil. Keshalihan menghiasi diri mereka, kelembutan membalut perangai mereka. Meskipun terlalu berlebihan kalau kita menuntut mereka sama mutlak seperti Aisyah, menjadi Fatimah dan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar