Suzie Sastra Inspirasi

Senin, 20 Februari 2012

FLP Jalan Terbaikku


Islam Satu-satunya Ideologi

Jika Islam adalah satu-satunya ideologi yang kita anggap benar, mengapa dalam bersastra kita kerap mencari referensi-referensi lain yang jauh dari nilai-nilai Islam? Dengan dalih sastra adalah kolam kebebasan yang mensahkan kita untuk belajar dari siapa saja, sementara di sisi lain kita tidak sadar, bahwa Islam adalah sebaik-baik sumber sastra.

Ada sebuah pengalaman pribadi yang menyadarkan dan membuat pikiran saya kembali tercerahkan, kita adalah pemegang peradaban tertinggi, dimana sebuah tulisan di tangan kita akan dapat kita sulap menjadi tiket menuju syurga, tak sekedar aspek finansial dan popularitas semata, karena jika hanya itu orientasi yang dibangun maka kita tiada beda dengan orang-orang di luar kita, yang berkreatifitas membabi buta tanpa memikirkan nilai dan dampaknya bagi orang lain. Kita punya tanggung jawab moral dengan apa yang kita tulis, amat naif jika kita berlepas tangan, penulis tak pernah mati ketika karyanya telah dilempar ke publik, karena kelak dia akan diminta pertanggung jawaban dengan apa yang telah ditulisnya.

Suatu ketika dengan semangat tinggi dan obsesi yang kuat, saya memberanikan diri bergabung di sebuah komunitas sastra sekuler, dengan identitas lengkap saya sebagai muslimah berjilbab menutupi tubuh dan AlQuran tersimpan rapi dalam tas, dengan karya-karya profetik yang menjadi kebanggaan saya sampai hari ini. Sampailah kepada hari dimana saya akan diwawancarai, ditanya soal komitmen terhadap komunitas tersebut. Dapat saya pastikan saat itu hanya saya yang menggenakan pakaian “aneh” dalam konteks pemikiran mereka. Saya duduk di tengah-tengah lingkaran, laksana terdakwa yang sedang diadili. Satu persatu pertanyaan saya jawab dengan datar, dan sampailah pada pertanyaan sensitif yang sudah saya terka sebelumnya, soal ideologi.

“Maaf, anda ini berasal dari Forum Lingkar Pena yang ideologinya sangat jelas berbeda dengan kami, orang-orang di komunitas anda adalah orang-orang yang terlalu fanatik dengan satu genre tulisan saja yakni religius, dan ini akan menghambat kreatifitas. Komunitas anda bukanlah pembaca yang baik, mereka terlalu memilih bacaan yang hanya sesuai dengan genrenya, novel-novel kuning mereka enggan baca, pada hal dalam konsep membaca, pembaca yang baik adalah pembaca yang tidak memilah-milah apa yang dibacanya”

Sedaya upaya saya menangkis pernyataan bertubi-tubi tersebut, ada rasa bangga di benak saya pada saat itu, saya sedang membela ideologi Allah, meluruskan anggapan-anggapan miring yang ditudingkan terhadap para da’i-da’i pena. Meskipun dalam hati saya sedih, saya sedang berbicara dengan orang yang memiliki agama yang sama dengan saya, namun sangat ekstrim terhadap orang yang berkomitmen dengan agama yang juga menjadi agamanya. Lalu dimanakah sebenarnya konteks kebebasan dalam bersastra yang mereka agung-agungkan, jika rasa ekstrimisme dan ego dalam berkomunitas masih melekat dalam diri mereka.

Ada beberapa hal yang patut menjadi catatan dari pernyataan sastrawan yang saya dapatkan tersebut;

Pertama, soal kreatifitas. Seorang dai’-dai’ pena harus memiliki rumusan yang jelas soal kreatifitas sebelum kita bersentuhan dengan persepsi kreatifitas yang ada dalam bingkai pemikiran para sastrawan sekuler. Hakikat kreatifitas adalah ketika kita menemukan sesuatu hal baru yang bermanfaat, unik dan tak pernah terpikirkan oleh orang lain. Kata kuncinya adalah manfaat, kebaikan yang jelas bagi orang yang membaca maupun bagi pribadi si penulis. Definisi ini akan menuntut arah dan langkah kita agar tak coba-coba singgah ke konteks kreatifitas yang didefenisikan para pengagum sastra sekuler, di mana dalam versi mereka kreatifitas adalah ruang tanpa batas, rumah kebebasan tanpa memperhatikan aspek dampaknya bagi diri sendiri maupun orang lain. Saya sebagai penulis muslim yang ingin berkomitmen dengan Islam tentu sangat takut jika dengan dalih kreatifitas apa yang saya tulis akan memberikan dampak buruk bagi orang lain yang membaca karya saya, dosa jariah pun mengalir, belum lagi bagaimana pertanggung jawaban saya di hadapan Allah terhadap apa yang saya tulis, padahal Allah lah yang telah memberi saya nikmat bakat dan potensi untuk menulis.

Saya tak habis pikir, kenapa masih ada orang-orang Islam yang malu dengan identitasnya sebagai seorang muslim dalam menulis. Mereka enggan memasukkan nilai-nilai Islam dalam tulisan mereka, bahkan pilihan kata sekalipun, padahal itu tak sulit bagi mereka. Mereka lebih memilih karya-karya kuning, yang justru dengan karya-karya itu nantinya akan menjerumuskan mereka, meski hari ini bergelimang popularitas.

Firman Allah SWT;

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkan engkau melihat mereka mengembara di setiap lembah. Dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)” (Qs. Asy-Syu’ara’: 224-226).

Sesungguhnya janji Allah SWT amatlah mulia terhadap orang-orang yang dengan percaya diri melebelkan Islam dalam karya-karya mereka;

Firman Allah SWT;

“Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan berbuat kebajikandan banyak mengingat Allah dan mendapatkan kemenangan setelah terzalimi (karena menjawab puisi-puisi orang-orang kafir). Dan orang-orang yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali” (Qs. Asy-Syu’ara’: 227).

Barang kali kita juga perlu sedikit introspeksi, keterpurukan moral negeri kita juga tak terlepas dari apa yang telah mereka baca. Bacaan akan mempengaruhi pola pikir, mental dan pada gilirannya tindak perbuatan. Sebagai penulis, tak takutkah kita turut berkontribusi menyumbangkan dosa jariah terhadap orang lain? Kerusakan pola pikir dan prinsip hidup dampaknya akan lebih luas ketimbang kerusakan alam. Karena jika pengelola alam ciptaan Allah ini sudah memiliki pola pikr yang salah, maka bagaimana ia akan menjadi hamba Allah dan pemimpin di muka bumi? Kerusakan berantai akan terus terbentuk.

Kedua, konsep pembaca yang baik. Jika kita kembali kepada tujuan asal seseorang membaca, maka faktor terbesar yang akan kita dapati sebagai alasan terkuat orang membaca adalah mencari nilai kegunaan dan manfaat dari apa yang dibacanya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Manfaat sejatinya adalah kebaikan, jadi seseorang yang membaca tak lain ingin memperoleh kebaikan dari apa yang dibacanya. Seseorang akan tau apa yang dibacanya memberi manfaat atau tidak untuk dirinya adalah dari pengaruh yang muncul setelah dia membaca. Efek apa yang akan terbentuk setelah kita membaca sesuatu, cara berpikir yang bagaimana yang akan kita peroleh, jika sama sekali tak ada nilai kebaikan yang didapat, maka boleh dikata kita bukanlah pembaca yang baik. Pendek kata, pembaca yang baik adalah pembaca yang mampu menyeleksi dan mengerti bahwa apa yang dibacanya akan membawa nilai manfaat dan kebaikan bagi dirinya.

Pemaparan saya ini sedikit menjawab sebuah konsep membaca yang dilontarkan pada saya di forum wawancara saya dengan komunitas sastra di atas. Saya pikir terlalu liberal jika mengamini sebuah konsep membaca yang mengatakan bahwa, pembaca yang baik adalah pembaca yang mau melahap semua bacaan, dengan dalih bagaimana kita tahu sesuatu itu buruk jika kita tidak pernah membacanya. Pertanyaannya, sudahkah kita membaca ribuan buku lain yang sudah jelas terakreditasi nilai manfaatnya di sekeliling kita? Lalu kenapa kita habiskan waktu untuk membaca sesuatu yang samar, yang malah lebih dominan nilai kemudharatannya ketimbang nilai maslahatnya?. Seberapa besar kita mampu menjamin bahwa orang yang membaca sebuah bacaan tak layak akan sanggup bertahan pola pikirnya. Sedikit banyak apa yang kita baca akan memberikan dampak bagi konsep berpikir. Sebuah pengecualian bisa kita berikan kepada mereka-mereka yang memang sudah terbukti tidak tergoyahkan prinsip dan gaya pemikirannya setelah membaca buku-buku tersebut. Pertanyaannya siapakah mereka? Apakah semua orang bisa?. Secara naluri pribadi kita tentu dapat memberikan jawaban jujur bahwa apakah kita termasuk golongan yang mampu resisten atau sebaliknya. Dalam konteks ini tidak adil rasanya jika kita menyalahkan orang-orang yang tetap bertahan tidak membaca bacaan-bacaan “kuning” dengan dalih ketidaksanggupan mereka memfilter apa-apa yang dibaca, atau prinsip lain yang menjadikan mereka begitu yakin bahwa memilah bacaan adalah hal yang sangat diperlukan.

Kesimpulan dari interview saya dengan komunitas saya sebutkan di atas adalah saya ditolak untuk bergabung dengan komunitas tersebut. Sebuah keputusan yang saya pikir cukup membahagiakan saya dalam konteks posisi saya sebagai dai pena waktu itu. Paling tidak ada prinsip yang begitu mengakar yang coba saya lontarkan untuk menggentarkan orang-orang yang memilih ideologi selain Islam, padahal mereka muslim. Namun di sisi lain ada kesedihan mendalam di hati saya, pada perspektif saya sebagai seorang pembelajar, saya merasa sangat dikerdilkan dengan posisi dan ideologi yang saya yakini. Islam yang begitu mulia seakan ditempatkan pada posisi yang sangat rendah, ketika Islam sudah meresap ke dalam sebuah tulisan, seolah dipandang sebagai tulisan miskin kreatifitas, bacaan normatif yang dianggap sebagai guru yang membosankan, atau malah hanya sebagai sampingan yang tidak diakui akreditas nilainya.

Lalu seketika muncul kerinduan saya terhadap komunitas berideologi Islam yang sudah membesarkan saya. Bagaimana kadang langkah perjuangan kita masih tertatih dengan masalah-masalah internal organisasi, masalah kualitas dan ketidakproduktifan kita dalam berkarya. Sementara kita tidak tahu orang-orang di luar sana yang benci dengan eksistensi Islam telah memerangi kita dari berbagai celah. Kita dianggap seperti buih di lautan, besar hanya dengan kuantitas namun miskin kualitas. Paling tidak ini menjadi catatan penting bagi kita mengevaluasi gerak langkah ke depan, yang terpenting adalah keyakinan dan keistiqomahan dengan ideologi Islam yang kita jalani. Melahirkan tulisan-tulisan bagi kita hakikatnya dengan mengajak orang untuk kembali kepada Allah SWT, kembali kepada nilai-nilai kebenaran yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Adakah tujuan yang lebih mulia selain dari tujuan itu? maka kenapa kita masih malu dengan ideologi Islam?.

Saudaraku, dakwah ada di mana-mana. Siapapun dan apapun profesi kita, ketika kita sudah memulai menyingsingkan baju untuk menegakkan hukum-hukum Allah dan nilai-nilai Islam maka sudah menjadi sunnatullah di sana pulalah kebatilan akan menghadang kita. Menjadi penulis maupun sastrawan muslim tidak cukup hanya dengan membanggakan kebesaran karya, ada hal penting yang sangat-sangat esensial yang terkadang kita lupa dan itu membuat apa-apa yang kita tulis menjadi keropos dan tak bernilai di mata Allah SWT.

Pernahkah kita merujuk bagaimana para penulis Islam mampu menciptakan sesuatu yang sangat besar tak hanya bagi manusia namun juga bagi eksistensi dakwah Allah di muka bumi. Barangkali hari ini kita lebih hafal riwayat hidup sastrawan-sastrawan sekuler ketimbang bagaimana tangisan seorang Abdullah bin Rawahah ketika mendengar kritikan Allah SWT terhadap para penyair sesat. Ini adalah sebuah pelajaran, Islam adalah sebaik-baik sumber hukum dan tempat belajar, Islam adalah satu-satunya ideologi yang paling benar.

Kita harus malu, kenapa kita tidak membanggakan syair-syair yang ditulis Abdullah Rawahah, yang dengan syair itu memberi jaminan bagi beliau untuk bernaung di jannah Allah. Lalu jaminan apakah yang akan kita dapatkan ketika kita begitu fanatik dengan syair-syair yang ditulis para penyair sesat, yang dengannya menyebabkan kita menjadi kabur, tidak peka dengan sebuah kebenaran, bahkan menganggap sebuah kemelencengan sebagai hal yang lumrah dalam konteks kebebasan bersastra. Malu saudaraku, mari kita tanamkan perasaan malu dalam diri kita. Kita adalah muslim, kita adalah para dai yang Allah bekali dengan pena untuk melawan musuh-musuh Allah, lalu kenapa pena kita terkadang kita gunakan untuk bekerja sama dengan musuh, atau malah kita sendiri yang menumpulkan nilai-nilai dakwah mata pena kita. Wallahu a’lam bishawab. (Oleh: Sugiarti/ Ketua FLP Wilayah Riau)

0 komentar:

PESAN NAFIAH


codebase="http://download.macromedia.com/pub/shockwave/cabs/flash/swflash.cab#version=8,0,0,0"
width="400" height="56" id="TextSpace">






LCD Text Generator at TextSpace.net

 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

Nafiah AlMa'rab © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu