Cerpen Jurnalis
Segelas Es Rumput Laut
Cuaca begitu panas siang ini. Terik mentari seolah memanggang kulit siapa saja yang lalu lalang di bawahnya. Bangunan megah bergaya arsietektur melayu itu makin ramai. Puluhan kuli tinta berjubel antri di sudut ruangan. Gedung Anggota Dewan yang oleh para kuli tinta tersebut sering diistilahkan dengan ‘Gedung Kuning’. Konon katanya disebabkan dominasi suara sebuah partai besar yang memiliki icon warna kuning.
Yudi memutar-mutar kameranya. Letih ia berdesakan diantara rekan-rekannya yang lain. Kali ini ia memutuskan untuk duduk sebentar sambil mencatat keterangan-keterangan penting yang didengarnya beberapa menit lalu. Meski ingatannya tergolong cukup baik, catatan kecil selalu setia menemaninya. Antisipasi kalau-kalau ingatannya bermasalah. Tiba-tiba matanya menatap pria berperawakan sedang yang nampak mengangkat-angkat kamera sambil berdesakan. Sosok itu seperti sangat dikenalinya.
Cuaca begitu panas siang ini. Terik mentari seolah memanggang kulit siapa saja yang lalu lalang di bawahnya. Bangunan megah bergaya arsietektur melayu itu makin ramai. Puluhan kuli tinta berjubel antri di sudut ruangan. Gedung Anggota Dewan yang oleh para kuli tinta tersebut sering diistilahkan dengan ‘Gedung Kuning’. Konon katanya disebabkan dominasi suara sebuah partai besar yang memiliki icon warna kuning.
Yudi memutar-mutar kameranya. Letih ia berdesakan diantara rekan-rekannya yang lain. Kali ini ia memutuskan untuk duduk sebentar sambil mencatat keterangan-keterangan penting yang didengarnya beberapa menit lalu. Meski ingatannya tergolong cukup baik, catatan kecil selalu setia menemaninya. Antisipasi kalau-kalau ingatannya bermasalah. Tiba-tiba matanya menatap pria berperawakan sedang yang nampak mengangkat-angkat kamera sambil berdesakan. Sosok itu seperti sangat dikenalinya.
“Zein…”Yudi akhirnya memanggil pria tadi.
Si pria menoleh, dari jauh dia tersenyum. Rupanya benar dugaan Yudi, pria itu Zein, sahabat lamanya. Zain menurunkan kameranya. Bergegas ia menghampiri Yudi. Agaknya rekannya ini sangat berarti sampai ia meninggalkan posisi strategis yang dari tadi diperjuangkannya antri berjam-jam.
“Hai… Yud, apa kabar kau?” senyum Zein melebar.
“Kau yang apa kabar? Kemana saja?” Yudi menarik topi Zein, sahabat lama yang saling bernostalgia.
“Aku? Ha..ha..ha..enam bulan aku gantung pena” Zein terkekeh sendiri.
“Gantung pena?”
“Ya, aku istirahat enam bulan dari jurnalistik. Capek aku Yud, kuputuskan pulang ke Medan menjenguk kakek” sambungnya. Yudi terdiam. Zein itu sosok wartawan yang idealis. Dulu ia bekerja di sebuah harian paling top di kota ini. Sampai suatu hari ia memergoki sendiri, atasannya ada “main atas” dengan pejabat pemerintah. Tanpa pikir panjang Zein memutuskan untuk keluar dari harian tersebut. Keputusan Zein ternyata disusul oleh lima orang rekannya yang lain, yang juga mencium indikasi “main atas” tadi. Bersama lima orang rekannya tadi Zein menerima tawaran dari pengusaha terkenal mengelola sebuah media harian. Berbekal semangat dan pengalaman Zein berhasil memajukan harian tadi. Tapi lagi-lagi idealisme Zein diuji. Pengusaha bosnya tadi ternyata seorang koruptor besar yang coba membangun opini publik yang baik untuk dirinya melalui media harian yang dikelola Zein dan kawan-kawan. Bukan Zein namanya kalau tetap bertahan di harian tadi. Tiga orang temannya tetap bertahan. Dua orang memutuskan pindah ke Batam menerima tawaran media harian di sana. Dan Zein memutuskan untuk gantung pena enam bulan. Tapi itulah Zein, mana bisa dia bertahan lama-lama tak menulis. Buktinya ia hadir juga hari ini di Gedung Kuning, meliput pelaksanaan sidang pengesahan RAPBD propinsi.
“Hey Yud kok diam? Bos mu ada di dalam ya?he..he..he” Zein meledek Yudi.
Yudi tersenyum simpul. Yudi tak bisa menggeleng atau mengangguk. Dia teringat Pak Hamdi. Ketua salah sebuah fraksi besar di DPR memang kerap mendekatinya. Agaknya karena Yudi bekerja disebuah harian terkenal. Yudi terkadang tak bisa menolak permintaan Pak Hamdi. Publikasi berita-berita yang berpihak kepada partai fraksi tersebut. Beberapa amplop yang disodorkan oleh Pak Hamdi bahkan sempat diterimanya. Yudi tak bisa berbuat banyak, terus terang kalau mengandalkan gaji pekerjaannya, biaya hidup keluarganya tak tercukupi. Namun sesungguhnya di hati Yudi tak menginginkan semua itu. Yudi tak bisa seidealis Zein. Tapi juga tak bisa terus menerus berpihak kepada ketidakjujuran. Yudi sadar dia telah melanggar kode etik seorang wartawan dan nalurinya sendiri. ‘Tapi apa yang harus aku lakukan’ batin Yudi mulai tak tenang.
“Yud…kau lihat itu!” Zein menunjuk ke sebuah mobil dinas bercat abu-abu yang terparkir paling depan.
“Mobil dinas itu?kenapa?”
“Kau tau itu milik siapa?”
Yudi menelan ludahnya. Itu mobil dinas milik Pak Hamdi. Zein pasti punya seribu cerita tentang Pak Hamdi. Zein pasti punya banyak informasi tentang Pak Hamdi.
“Kenapa dengan pemiliknya?” Yudi bertanya datar.
“Dia saingan bosku dulu. Aku pikir dia politisi yang bersih, nyatanya mereka sama saja. Kemarin dia menghubungiku, dia menawariku mengelola media yang akan dia buka. Tapi aku tak tertarik. Paling ujung-ujungnya untuk kepentingan politik 2009. Bekerja untuk para penghianat rakyat sangat memalukan bagiku”ungkap Zein serius. Yudi terdiam membisu. Kata-kata Zein tadi serasa membuat aliran darahnya berhenti. Betul-betul telak menghakimi.
“Hari ini kau bekerja untuk siapa Zei?” Yudi mengalihkan pembicaraan Zein. Zein tersenyum. Perlahan dia bangkit dari duduknya dan kembali menatap Yudi.
“Aku bekerja untuk diriku sendiri sebagai wartawan, kalau bukan kita yang menulis berita yang benar, lalu siapa lagi? aku memilih jurnalistik cyber sekarang, oke Yud, kita turun lagi, pending sidang sudah dicabut sepertinya. Masih melanjutkan pandangan umum fraksi” Zein berjalan mendahului Yudi menuju ruang sidang. Pria kelahiran Padang Sidempuan itu memang paling terdepan soal memburu berita.
***
Hampir setengah jam Yudi menunggu. Segelas teh hangat pesanannya pun tinggal beberapa teguk lagi. Iseng matanya mengawasi beberapa mahasiswa yang asyik memanfaatkan jaringan hotspot free di sudut ruangan. Di kota ini memang masih langka area hotspot. Kalau pun ada loadingnya juga lambat. Yudi ingat dulu sewaktu dia masih di bangku S1. Jangankan laptop yang dilengkapi WIFI, komputer saja masih sulit dimiliki. Tapi kondisi kekurangan seperti itu justru membuat para mahasiswa kala itu berjuang keras. ‘Memang manuasia seperti per, akan bergerak bila harus ditekan dulu’ batin Yudi.
“Lama menunggu Yud?” suara di belakang mengejutkannya. Seorang lelaki berusia 50-an tahun menghampiri dan duduk di hadapannya. Pria berdasi itu bukan orang sembarangan. Dialah Pak Hamdi yang diceritakan Yudi, ketua fraksi dari partai peraih suara tiga besar pemilu tahun 2004 lalu. Petang itu Ia mengajak Yudi bertemu.
“Lumayan lah Pak, ada yang bisa saya bantu?” Pria berkemeja panjang warna biru itu tak menjawab, dipanggilnya pelayan. Dipesannya dua gelas minuman es rumput laut kesukaannya.
“Ayo minum!, ini minuman kesukaan istri saya juga” ujarnya.
Yudi hanya mengangguk. Dia tak berselera. Bukan hanya pada segelas es rumput laut di hadapannya. Tapi yang pasti pada pertemuan sore itu. Ucapan-ucapan Zein berseliweran di kepalanya.
“Saya ada tawaran untuk kamu”
“Tawaran?”
“Ya…saya mau buat harian pagi. Saya yakin kamu bisa ikut bergabung di bisnis saya ini” sahut Pak Hamdi.
“Tapi Pak…”
“Kenapa? Kamu jangan khawatir soal gaji saya jamin tiga kali lipat dari uang gaji kamu sekarang” ujar Pak Hamdi meyakinkan.
“Bukan begitu Pak, maksud saya…saya mau istirahat sebentar dari kerja”
“Istirahat? Maksud kamu?”
“Ehm…saya mau fokus ke tesis dulu Pak, mungkin sekitar beberapa bulan”
Wajah di hadapan Yudi berubah seketika. Yudi sudah memperkirakannya. Tapi biarlah. Ini awal dari Yudi untuk mengikuti jejak Zein. Jejak sahabat yang banyak mengajarkannya arti sebuah kejujuran.
“Oke…kamu pikirkan saja tawaran saya tadi baik-baik. Jangan sampai kamu menyesal. Saya harus pulang sekarang, istri saya mau ke dokter. Dua hari lagi saya tunggu jawaban kamu”.
Pak Hamdi berlalu pergi. Yudi menarik nafas lega. Paling tidak satu langkah telah ia lewati. Soal jawaban dua hari lagi pasti Zein akan mengajarinya. Yudi berharap ini adalah sore terakhir Ia mendapat suguhan es rumput laut dari Pak Hamdi. Segelas minuman yang telah menggadaikan idealisme dan naluri kejujurannya. Tapi petang itu Yudi berjanji, ‘aku harus menjadi wartawan yang berkode etik’ ujarnya dalam hati.
***
Si pria menoleh, dari jauh dia tersenyum. Rupanya benar dugaan Yudi, pria itu Zein, sahabat lamanya. Zain menurunkan kameranya. Bergegas ia menghampiri Yudi. Agaknya rekannya ini sangat berarti sampai ia meninggalkan posisi strategis yang dari tadi diperjuangkannya antri berjam-jam.
“Hai… Yud, apa kabar kau?” senyum Zein melebar.
“Kau yang apa kabar? Kemana saja?” Yudi menarik topi Zein, sahabat lama yang saling bernostalgia.
“Aku? Ha..ha..ha..enam bulan aku gantung pena” Zein terkekeh sendiri.
“Gantung pena?”
“Ya, aku istirahat enam bulan dari jurnalistik. Capek aku Yud, kuputuskan pulang ke Medan menjenguk kakek” sambungnya. Yudi terdiam. Zein itu sosok wartawan yang idealis. Dulu ia bekerja di sebuah harian paling top di kota ini. Sampai suatu hari ia memergoki sendiri, atasannya ada “main atas” dengan pejabat pemerintah. Tanpa pikir panjang Zein memutuskan untuk keluar dari harian tersebut. Keputusan Zein ternyata disusul oleh lima orang rekannya yang lain, yang juga mencium indikasi “main atas” tadi. Bersama lima orang rekannya tadi Zein menerima tawaran dari pengusaha terkenal mengelola sebuah media harian. Berbekal semangat dan pengalaman Zein berhasil memajukan harian tadi. Tapi lagi-lagi idealisme Zein diuji. Pengusaha bosnya tadi ternyata seorang koruptor besar yang coba membangun opini publik yang baik untuk dirinya melalui media harian yang dikelola Zein dan kawan-kawan. Bukan Zein namanya kalau tetap bertahan di harian tadi. Tiga orang temannya tetap bertahan. Dua orang memutuskan pindah ke Batam menerima tawaran media harian di sana. Dan Zein memutuskan untuk gantung pena enam bulan. Tapi itulah Zein, mana bisa dia bertahan lama-lama tak menulis. Buktinya ia hadir juga hari ini di Gedung Kuning, meliput pelaksanaan sidang pengesahan RAPBD propinsi.
“Hey Yud kok diam? Bos mu ada di dalam ya?he..he..he” Zein meledek Yudi.
Yudi tersenyum simpul. Yudi tak bisa menggeleng atau mengangguk. Dia teringat Pak Hamdi. Ketua salah sebuah fraksi besar di DPR memang kerap mendekatinya. Agaknya karena Yudi bekerja disebuah harian terkenal. Yudi terkadang tak bisa menolak permintaan Pak Hamdi. Publikasi berita-berita yang berpihak kepada partai fraksi tersebut. Beberapa amplop yang disodorkan oleh Pak Hamdi bahkan sempat diterimanya. Yudi tak bisa berbuat banyak, terus terang kalau mengandalkan gaji pekerjaannya, biaya hidup keluarganya tak tercukupi. Namun sesungguhnya di hati Yudi tak menginginkan semua itu. Yudi tak bisa seidealis Zein. Tapi juga tak bisa terus menerus berpihak kepada ketidakjujuran. Yudi sadar dia telah melanggar kode etik seorang wartawan dan nalurinya sendiri. ‘Tapi apa yang harus aku lakukan’ batin Yudi mulai tak tenang.
“Yud…kau lihat itu!” Zein menunjuk ke sebuah mobil dinas bercat abu-abu yang terparkir paling depan.
“Mobil dinas itu?kenapa?”
“Kau tau itu milik siapa?”
Yudi menelan ludahnya. Itu mobil dinas milik Pak Hamdi. Zein pasti punya seribu cerita tentang Pak Hamdi. Zein pasti punya banyak informasi tentang Pak Hamdi.
“Kenapa dengan pemiliknya?” Yudi bertanya datar.
“Dia saingan bosku dulu. Aku pikir dia politisi yang bersih, nyatanya mereka sama saja. Kemarin dia menghubungiku, dia menawariku mengelola media yang akan dia buka. Tapi aku tak tertarik. Paling ujung-ujungnya untuk kepentingan politik 2009. Bekerja untuk para penghianat rakyat sangat memalukan bagiku”ungkap Zein serius. Yudi terdiam membisu. Kata-kata Zein tadi serasa membuat aliran darahnya berhenti. Betul-betul telak menghakimi.
“Hari ini kau bekerja untuk siapa Zei?” Yudi mengalihkan pembicaraan Zein. Zein tersenyum. Perlahan dia bangkit dari duduknya dan kembali menatap Yudi.
“Aku bekerja untuk diriku sendiri sebagai wartawan, kalau bukan kita yang menulis berita yang benar, lalu siapa lagi? aku memilih jurnalistik cyber sekarang, oke Yud, kita turun lagi, pending sidang sudah dicabut sepertinya. Masih melanjutkan pandangan umum fraksi” Zein berjalan mendahului Yudi menuju ruang sidang. Pria kelahiran Padang Sidempuan itu memang paling terdepan soal memburu berita.
***
Hampir setengah jam Yudi menunggu. Segelas teh hangat pesanannya pun tinggal beberapa teguk lagi. Iseng matanya mengawasi beberapa mahasiswa yang asyik memanfaatkan jaringan hotspot free di sudut ruangan. Di kota ini memang masih langka area hotspot. Kalau pun ada loadingnya juga lambat. Yudi ingat dulu sewaktu dia masih di bangku S1. Jangankan laptop yang dilengkapi WIFI, komputer saja masih sulit dimiliki. Tapi kondisi kekurangan seperti itu justru membuat para mahasiswa kala itu berjuang keras. ‘Memang manuasia seperti per, akan bergerak bila harus ditekan dulu’ batin Yudi.
“Lama menunggu Yud?” suara di belakang mengejutkannya. Seorang lelaki berusia 50-an tahun menghampiri dan duduk di hadapannya. Pria berdasi itu bukan orang sembarangan. Dialah Pak Hamdi yang diceritakan Yudi, ketua fraksi dari partai peraih suara tiga besar pemilu tahun 2004 lalu. Petang itu Ia mengajak Yudi bertemu.
“Lumayan lah Pak, ada yang bisa saya bantu?” Pria berkemeja panjang warna biru itu tak menjawab, dipanggilnya pelayan. Dipesannya dua gelas minuman es rumput laut kesukaannya.
“Ayo minum!, ini minuman kesukaan istri saya juga” ujarnya.
Yudi hanya mengangguk. Dia tak berselera. Bukan hanya pada segelas es rumput laut di hadapannya. Tapi yang pasti pada pertemuan sore itu. Ucapan-ucapan Zein berseliweran di kepalanya.
“Saya ada tawaran untuk kamu”
“Tawaran?”
“Ya…saya mau buat harian pagi. Saya yakin kamu bisa ikut bergabung di bisnis saya ini” sahut Pak Hamdi.
“Tapi Pak…”
“Kenapa? Kamu jangan khawatir soal gaji saya jamin tiga kali lipat dari uang gaji kamu sekarang” ujar Pak Hamdi meyakinkan.
“Bukan begitu Pak, maksud saya…saya mau istirahat sebentar dari kerja”
“Istirahat? Maksud kamu?”
“Ehm…saya mau fokus ke tesis dulu Pak, mungkin sekitar beberapa bulan”
Wajah di hadapan Yudi berubah seketika. Yudi sudah memperkirakannya. Tapi biarlah. Ini awal dari Yudi untuk mengikuti jejak Zein. Jejak sahabat yang banyak mengajarkannya arti sebuah kejujuran.
“Oke…kamu pikirkan saja tawaran saya tadi baik-baik. Jangan sampai kamu menyesal. Saya harus pulang sekarang, istri saya mau ke dokter. Dua hari lagi saya tunggu jawaban kamu”.
Pak Hamdi berlalu pergi. Yudi menarik nafas lega. Paling tidak satu langkah telah ia lewati. Soal jawaban dua hari lagi pasti Zein akan mengajarinya. Yudi berharap ini adalah sore terakhir Ia mendapat suguhan es rumput laut dari Pak Hamdi. Segelas minuman yang telah menggadaikan idealisme dan naluri kejujurannya. Tapi petang itu Yudi berjanji, ‘aku harus menjadi wartawan yang berkode etik’ ujarnya dalam hati.
***
0 komentar:
Posting Komentar